DI JUAL Kios Lantai 3 Blok H-9 No. 3-5 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 1.100.000.000,- danLantai 3 Blok G-9 No. 5-9 Pusat Grosir Surabaya. Harga Rp. 1.200.000.000,- Hubungi Ully 082131460201.

PENDIDIKAN DALAM SETT: Prof. Sukiyat



beberapa negara telah berupaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis - komando menuju ke arah kemitraan bersama. Pada hubungan atasan - bawahan yang bersifat hierarkis-komando, seringkali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya. Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap bawahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,mereka cenderung bersikap apriori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan kondisi demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.

Latar Belakang
              
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagai mana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat ”; “ Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di muka Bumi ”. Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin sesuatu ”.
        Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk /alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Guna menyikapi tantangan globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat ketat dan tajam, di beberapa negara telah berupaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis - komando menuju ke arah kemitraan bersama. Pada hubungan atasan - bawahan yang bersifat hierarkis-komando, seringkali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya. Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap bawahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,mereka cenderung bersikap apriori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan kondisi demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Menyadari semua itu, maka perubahan kebijakan kepemimpinan pendidikan yang dapat memberdayakan pihak bawahan menjadi amat penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, Larry Lashway (ERIC Digest,No.96) membahas tentang Facilitative Leadership. yang pada intinya merupakan kepemimpinan yang menitik beratkan pada collaboration dan empowerment. Sementara itu, David Conley and Paul Goldman (1994) mendefinisikan facilitative leadership sebagai : “the behaviors that enhance the collective ability of a school to adapt, solve problems, and improve performance.” Kata kuncinya terletak pada collective. Artinya, keberhasilan pendidikan bukanlah merupakan hasil dan ditentukan oleh karya perseorangan, namun justru merupakan karya dari team work yang cerdas.
Dengan model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat mendorong seluruh bawahan dan seluruh anggota organisasi dapat memberdayakan dirinya, dan membentuk rasa tanggung atas tugas - tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi didasarkan pada kontrol eksternal organisasi, namun justru berkembang dari hati sanubari yang disertai dengan pertimbangan rasionalnya. Kepemimpinan fasilitatif merupakan alternatif model kepemimpinan yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan masa depan abad ke-21, yang pada intinya model ini merujuk kepada upaya pemberdayaan setiap komponen manusia yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses pemerdekaan diri, dimana setiap individu dipandang sebagai sosok manusia yang memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa dan jika ketiga aspek kekuatan diri manusia ini mempunyai tempat untuk berkembang secara semestinya dalam suatu organisasi, maka hal ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa bagi kemajuan organisasi. Oleh karena itu, partisipasi dan keterlibatan individu dalam setiap pengambilan keputusan memiliki arti penting bagi pertumbuhan organisasi. Dengan keter libatan mereka dalam pengambilan keputusan, pada gilirannya akan terbentuk rasa tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil.
Paul M. Terry mengemukakan bahwa untuk dapat memberdayakan setiap individu dalam tingkat per sekolahan, seorang pemimpin (baca: kepala sekolah) seyogyanya dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan (create an environment conducive to empowerment), memperlihatkan idealisme pemberdayaan (demonstrates empowerment ideals), penghargaan terhadap segala usaha pemberdayaan (encourages all endeavors toward empowerment) dan penghargaan terhadap segala bentuk keberhasilan pemberdayaan  (applauds all empowerment successes).
Pendapat di atas mengindikasikan bahwa upaya pemberdayaan bukanlah hal yang sederhana, melainkan di dalamnya membutuhkan kerja keras dan kesungguhan dari pemimpin agar anggotanya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang berdaya. Jika saja seorang pemimpin sudah mampu memberdayakan seluruh anggotanya maka di sana akan tumbuh dinamika organisasi yang diwarnai dengan pemikiran kreatif dan inovatif dari setiap anggotanya. Mereka dapat mengekspresi kan dan mengaktualisasikan dirinya secara leluasa tanpa hambatan sosio-psikologis yang membelenggunya.Semua akan bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab profesionalnya.
Penerapan konsep manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah untuk dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut secara eksplisit. Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah kita saat ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan prioritas nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada umumnya perumusan visi sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang hampir sama yaitu “prestasi” dan “iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru jika sekolah hendak mengusung visi sekolah dengan merujuk pada kedua nilai tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi seragam, kurang spesifik serta kurang inspirasional mungkin masih patut untuk dipertanyakan kembali.


Konsep Visi Sekolah

Boleh jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah (pemimpin dan warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumus kan visi yang paling tepat bagi sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun kesulitan dalam mengidentifikasi dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan di sekolah.Dalam perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) organisasi sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat dalam melangkah ke masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998). Saat ini tidak sedikit sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar, hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias asal-asalan atau setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi yang dicita-citakannya.
Visi bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar sebuah gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah rumusan yang dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai (Hopkins, 1996). Menurut Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan dan merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam organisasi. Bennis and Nanus (1985) mengartikan visi sebagai pandangan masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang didalamnya tergambar kan cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.
Memperhatikan pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah kiranya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan inspirasi dan memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk bekerja dengan penuh semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi sangat identik dengan perbaikan sekolah. Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan dan upaya untuk pembentukan visi sekolah sangat bergantung pada pemimpin sekolah yang bersangkutan.
Dalam hal ini pemimpin sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi dan meng komunikasikan nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah kepada seluruh warga sekolah, agar dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam segala aktivitas keseharian di sekolah sehingga pada gilirannya dapat membentuk sebuah budaya sekolah. Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak bisa dilakukan secara “top-down” yang bersifat memaksa warga sekolah untuk menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala sekolah) yang hanya membuat orang atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk berpartisipasi di dalamnya Foreman(1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan dan dimandatkan dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan aspirasi pihak lain.
Untuk lebih jelasnya terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993) menawarkan beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:
1.    Visi seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah yang diinginkan.
2.    Visi akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan keutamaan atau keunggulan sekolah.
3.    Visi seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
4.    Visi seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
5.    Masing-masing aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang (a) watak dan sifat manusia; (b) tujuan pendidikan dalam sekolah; (c) peran pemerintah, keluarga, masyarakat terhadap pendidikan dalam sekolah; (d) pendekatan-pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran; dan (e) pendekatan -pendekatan terhadap manajemen perubahan.

Dengan demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan keyakinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)

DAPATKAN EBOOK DENGAN GRATIS DI www.teleshoping.com