beberapa negara telah berupaya untuk melakukan
revitalisasi pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan
paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan
atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis - komando menuju ke arah
kemitraan bersama. Pada hubungan atasan - bawahan yang bersifat
hierarkis-komando, seringkali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya.
Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali
mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini
berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap
bawahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,mereka cenderung bersikap
apriori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan
kondisi demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Latar Belakang
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi
pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi,
Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagai mana termaktub dalam Al Quran
Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada Malaikat ”; “ Sesungguhnya Aku akan mengangkat Adam menjadi Khalifah di
muka Bumi ”. Menurut Bachtiar Surin yang dikutif oleh Maman Ukas bahwa
“Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk
menyampaikan atau memimpin sesuatu ”.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan
sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap
individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk /alat/panduan untuk
memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya
Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang
mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya
tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan
tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang
baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya
pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Guna
menyikapi tantangan globalisasi yang ditandai dengan adanya kompetisi global
yang sangat ketat dan tajam, di beberapa negara telah berupaya untuk melakukan
revitalisasi pendidikan. Revitalisasi ini termasuk pula dalam hal perubahan
paradigma kepemimpinan pendidikan, terutama dalam hal pola hubungan
atasan-bawahan, yang semula bersifat hierarkis - komando menuju ke arah
kemitraan bersama. Pada hubungan atasan - bawahan yang bersifat
hierarkis-komando, seringkali menempatkan bawahan sebagai objek tanpa daya.
Pemaksaan kehendak dan pragmatis merupakan sikap dan perilaku yang kerap kali
mewarnai kepemimpinan komando-birokratik-hierarkis, yang pada akhirnya hal ini
berakibat fatal terhadap terbelenggunya sikap inovatif dan kreatif dari setiap
bawahan. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,mereka cenderung bersikap
apriori dan bertindak hanya atas dasar perintah sang pemimpin semata. Dengan
kondisi demikian, pada akhirnya akan sulit dicapai kinerja yang unggul.
Menyadari
semua itu, maka perubahan kebijakan kepemimpinan pendidikan yang dapat
memberdayakan pihak bawahan menjadi amat penting untuk dilakukan. Dalam hal
ini, Larry Lashway (ERIC Digest,No.96) membahas tentang Facilitative
Leadership. yang pada intinya merupakan kepemimpinan yang menitik
beratkan pada collaboration dan empowerment.
Sementara itu, David
Conley and Paul Goldman (1994) mendefinisikan facilitative leadership sebagai :
“the behaviors that enhance the collective ability of a school to
adapt, solve problems, and improve performance.” Kata kuncinya
terletak pada collective. Artinya, keberhasilan pendidikan bukanlah merupakan
hasil dan ditentukan oleh karya perseorangan, namun justru merupakan karya dari
team work yang cerdas.
Dengan model kepemimpinan demikian, diharapkan dapat mendorong
seluruh bawahan dan seluruh anggota organisasi dapat memberdayakan dirinya, dan
membentuk rasa tanggung atas tugas - tugas yang diembannya. Kepatuhan tidak lagi
didasarkan pada kontrol eksternal organisasi, namun justru berkembang dari hati
sanubari yang disertai dengan pertimbangan rasionalnya. Kepemimpinan
fasilitatif merupakan alternatif model kepemimpinan yang dibutuhkan guna
menghadapi tantangan masa depan abad ke-21, yang pada intinya model ini merujuk
kepada upaya pemberdayaan setiap komponen manusia yang terlibat dan bertanggung
jawab dalam pendidikan.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses
pemerdekaan diri, dimana setiap individu dipandang sebagai sosok manusia yang
memiliki kekuatan cipta, rasa dan karsa dan jika ketiga aspek kekuatan diri
manusia ini mempunyai tempat untuk berkembang secara semestinya dalam suatu
organisasi, maka hal ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa bagi kemajuan
organisasi. Oleh
karena itu, partisipasi dan keterlibatan individu dalam setiap pengambilan
keputusan memiliki arti penting bagi pertumbuhan organisasi. Dengan keter
libatan mereka dalam pengambilan keputusan, pada gilirannya akan terbentuk rasa
tanggung jawab bersama dalam mengimplementasikan setiap keputusan yang diambil.
Paul
M. Terry mengemukakan bahwa untuk dapat memberdayakan setiap individu dalam
tingkat per sekolahan, seorang pemimpin (baca: kepala sekolah) seyogyanya dapat
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemberdayaan (create
an environment conducive to empowerment), memperlihatkan idealisme
pemberdayaan (demonstrates empowerment ideals), penghargaan terhadap segala
usaha pemberdayaan (encourages all endeavors toward empowerment)
dan penghargaan terhadap segala bentuk keberhasilan pemberdayaan (applauds all empowerment successes).
Pendapat
di atas mengindikasikan bahwa upaya pemberdayaan bukanlah hal yang sederhana,
melainkan di dalamnya membutuhkan kerja keras dan kesungguhan dari pemimpin
agar anggotanya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang berdaya. Jika
saja seorang pemimpin sudah mampu memberdayakan seluruh anggotanya maka di sana
akan tumbuh dinamika organisasi yang diwarnai dengan pemikiran kreatif dan
inovatif dari setiap anggotanya. Mereka dapat mengekspresi kan dan
mengaktualisasikan dirinya secara leluasa tanpa hambatan sosio-psikologis yang
membelenggunya.Semua akan bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab
profesionalnya.
Penerapan konsep
manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah untuk dapat menetapkan
dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut secara eksplisit.
Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah kita saat
ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan
prioritas nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada
umumnya perumusan visi sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang
hampir sama yaitu “prestasi” dan “iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru
jika sekolah hendak mengusung visi sekolah dengan merujuk pada kedua nilai
tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi seragam, kurang spesifik serta
kurang inspirasional mungkin masih patut untuk dipertanyakan kembali.
Konsep
Visi Sekolah
Boleh
jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah
(pemimpin dan warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumus kan visi
yang paling tepat bagi sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang
pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun kesulitan dalam mengidentifikasi
dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan di sekolah.Dalam
perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan
dengan keberlanjutan (sustainability) organisasi
sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak
mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat dalam melangkah ke
masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998). Saat ini tidak sedikit
sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar,
hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias
asal-asalan atau setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi
yang dicita-citakannya.
Visi
bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar
sebuah gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah
rumusan yang dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai
(Hopkins, 1996). Menurut Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih,
sebuah keadaan yang diinginkan dan merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam
organisasi. Bennis and Nanus (1985) mengartikan visi sebagai pandangan masa
depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang didalamnya tergambar kan
cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.
Memperhatikan
pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah kiranya
tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan
pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan
inspirasi dan memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk
bekerja dengan penuh semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi
sangat identik dengan perbaikan sekolah. Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan
dan upaya untuk pembentukan visi sekolah sangat bergantung pada pemimpin
sekolah yang bersangkutan.
Dalam
hal ini pemimpin sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi
dan meng komunikasikan nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah
kepada seluruh warga sekolah, agar dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam
segala aktivitas keseharian di sekolah sehingga pada gilirannya dapat membentuk
sebuah budaya sekolah. Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak
bisa dilakukan secara “top-down” yang bersifat memaksa warga sekolah untuk
menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala sekolah) yang hanya membuat orang
atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk berpartisipasi di dalamnya
Foreman(1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan dan dimandatkan
dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan aspirasi
pihak lain.
Untuk lebih jelasnya
terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993) menawarkan
beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:
1. Visi
seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah yang
diinginkan.
2. Visi
akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan
keutamaan atau keunggulan sekolah.
3. Visi
seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang
diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
4. Visi
seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan
berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
5. Masing-masing
aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai,
dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang (a) watak dan sifat manusia;
(b) tujuan pendidikan dalam sekolah; (c) peran pemerintah, keluarga, masyarakat
terhadap pendidikan dalam sekolah; (d) pendekatan-pendekatan dalam pengajaran
dan pembelajaran; dan (e) pendekatan -pendekatan terhadap manajemen perubahan.
Dengan
demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan
merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan
keyakinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)