Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju,
khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran
pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian
merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik
pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala
strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek
non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang
diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan
teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan
kepercayaan bahwa diri mereka
mempunyai kemampuan (self efficacy)
untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara
sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat
seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di
negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan
dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern
yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries)
dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat
seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula
mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan
sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat
pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan unuk
mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus
meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga
domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf
menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education
achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan
di kalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat
tanda-tanda "lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada negara-negara
yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan problema: meninggal
kan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan
tekanan yang berat pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan oleh karena
perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi,
berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di
belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses
kemajuan, melainkan menjadi "pengikut proses kemajuan". Mulailah para
ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem
pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan
barat diterapkan di dunia sedang berkembang?
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju,
khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran
pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikian
merupakan penggerak utama (prima mover) bagi pembangunan. Secara fisik
pendidikan di dunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala
strata dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek
non-fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang
diujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi pada "akal" dan
teknologi, memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan
kepercayaan bahwa diri mereka
mempunyai kemampuan (self efficacy)
untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara
sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat
seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di
negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan
dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern
yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (dvelopped countries)
dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat
seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula
mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan
sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat
pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan unuk
mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus
meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga
domestik ke Barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil angka buta huruf
menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education
achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan
di kalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat
tanda-tanda "lampu-kuning" pada sistem pendidikan pada negara-negara
yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia, menimbulkan problema: meninggal
kan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan
tekanan yang berat pada anggaran belanja. Hal ini disebabkan oleh karena
perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi,
berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di
belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses
kemajuan, melainkan menjadi "pengikut proses kemajuan". Mulailah para
ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem
pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan
barat diterapkan di dunia sedang berkembang?
Persoalan
pendidikan dan pembangunan yang terjadi di negara sedang berkembang, termasuk
di Indonesia, secara mendasar berbeda dengan problema yang ada di negara-negara
Barat. Persoalan pendidikan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan falsafah
dan budaya bangsa. Winarno Surachmad (1986) mem- peringatkan "... bahwa
ilmu kependidikan yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya
tidak akan pernah mampu melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh
di bumi ini". (h.5). Barangkali, pendapat tersebut sangat ekstrim, namun
tuntutan bahwa ilmu kependidikan yang akan digunakan untuk memecahkan problema
di suatu negara hendaknya tidak lepas dari kondisi budaya setempat memang perlu
untuk mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari para perencana dan
pengambil keputusan di bidang kebijaksanaan pendidikan. Teori-teori Barat
tentang pendidikan dan pembangunan tidaklah senantiasa bersifat universal. Jiwa
dan watak bangsa harus menjiwai sistem pendidikan itu sendiri.
Perkembangan Dan Problema Pendidikan
Semenjak Orde Baru, khususnya mulai PELITA I, perkembangan
sektor pendidikan di Indonesia berkembang dengan pesat. Pemerintah memberikan
prioritas yang tinggi pada perkembangan sektor pendidikan didasarkan pada
asumsi bahwa dengan pendidikanlah pembangunan ekonomi Indonesia akan berhasil
dengan baik. Didukung dengan hasil minyak bumi, maka perkembangan sarana fisik,
khususnya gedung sekolah dasar dapat dilaksanakan pada tingkatyang luar biasa.
Puluhan ribu guru diangkat, ratusan judul buku paket dicetak, training
dan bentuk latihan peningkatan kualitas guru diselenggarakan. Dan hasilnya
secara statistik perkembangan pendidikan di Indonesia sangat
menggembirakan.Namun, dibalik angka-angka di atas, dunia pendidikan di
Indonesia masih menghadapi problema yang berat, yang dapat dikategorikan
menjadi: a) internal in-efficiency, b) external in-efficiency,
dan c) ketidakmerataan kesempatan pendidikan. internal in-efficiency
dalam sektor pendidikan berujud dalam bentuk tingginya angka drop-outs
dan angka repeaters (ulang kelas yang sama). Sedangkan external in-efficiency
berujud lulusan pendidikan tidak dapat diserap oleh pasar tenaga kerja
ataupun dapat dipakai tetapi antara pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan
pendidikan yang diperoleh. Sedang ketidakmerataan pendidikan berujud adanya
perbedaan memperoleh kesempatan pendidikan antara laki-laki dan wanita, antara
penduduk kota dan penduduk desa dan antara kaya dan miskin. External in-efficiency
pada sektor pendidikan tidaklah bisa dipisahkan dengan sektor yang lain,
khususnya sektor ekonomi dan politik. Sebagaimana telah disinggung di atas
modernisasi di bidang ekonomi jauh lebih cepat dari pada modernisasi di bidang
pendidikan. Perubahan-perubahan bidang ekonomi dan teknologi sedemikian cepat,
di lain pihak perubahan dunia pendidikan berjalan lambat. Perubahan-perubahan
pada sistem dan kurikulum pendidikan tidak bisa dilakukan dengan cepat, karena
adanya suatu perubahan di sektor pendidikan akan membawa dampak yang sangat
luas dan besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman
pembangunan di negara-negara Barat, sistem dan kurikulum pendidikan
dikembangkan dan didasarkan pada keadaan masyarakat saat itu dan proyeksi
keadaan masyarakat di masa mendatang. Namun pada era teknologi dewasa ini
sangat sulit atau dapat dikatakan hampir tidak mungkin bisa meramalkan keadaan
masa mendatang dengan tepat. Akibat dari ketidakmampuan pendidikan
memperhitungkan apa yang akan terjadi di masa mendatang, pendidikan juga tidak
mampu untuk menyediakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi dan
industri. Art dan peranan manpower planning semakin merosot
karena tidak bisa merencanakan demand dan supply tenaga kerja
dengan tepat Maka rentetan berikutnya adalah naiknya tingkat pengangguran
terdidik tidak dapat terelakkan lagi.
Problema
ketiga adalah ketidakmerataan kesempatan mendapatkan pendidikan.
Ketidakmerataan ini bisa dilihat menurut sex, tempat tinggal, dan terutama
menurut status sosial ekonomi. Teori klasik menyatakan bahwa pendidikan akan
menjembatani jurang antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat
sudah banyak mendapatkan kritikan dan tantangan. Teori-teori Dependency, dengan
bukti bukti empiris dari dunia ketiga, menunjukkan bahwa justru pendidikan
memperbesar jurang kaya dan miskin. Sebab pada diri pendidikan itu sendiri
terdapat stratifikasi sosial (lihat, Karabel dan Halsey, 1977).
Kalau
ketidakmerataan memperoleh pendidikan menurut sex dan desa/kota, sudah mulai
dapat diperkecil dengan berbagai kebijakan pendidikan yang telah dilaksanakan,
tidak demikian dengan ketidak-merataan pendidikan di antara penduduk miskin dan
kaya. Perbedaan pendidikan menurut status ekonomi antara kaya dan miskin masih
sulit untuk dipecahkan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas sekolah.
Kualitas sekolah dan juga jenis atau jurusan akan menentukan status di masa
depan. Sedangkan sebagian besar anak didik yang bisa memperoleh sekolah
"favorit" datang dari kalangan keluarga mampu, sedang keluarga yang
relatif miskin akan memperoleh sekolah yang juga relatif rendah kualitasnya.
Hal ini tidak mengherankan, karena anak didik yang dapat memenuhi kualifikasi
untuk masuk sekolah favorit sebagian besar adalah anak dari keluarga yang
relatif mampu, yang memang secara riil lebih pandai.
Pengalaman Dan Tantangan
Kesadaran bahwa pendidikan harus
senantiasa tanggap terhadap kemajuan telah mendorong para ahli dan pengambil
keputusan di bidang pendidikan untuk terus menerus mengadakan pembaharuan.
Pembaharuan pendidikan secara langsung dimaksudkan untuk memecahkan ketiga
problema di atas: internal in-efficiency, external in-efficiency,
dan ketidakmerataan pendapatan. Secara tidak langsung, perubahan-perubahan di
sektor pendidikan: misalnya, perubahan struktur pendidikan dan kurikulum, baik
dalam arti content dan instructional delivery system,
merupakan upaya agar pendidikan menjadi agent of development yang
canggih.
Namun pembaharuan-pembaharuan yang teiah dilaksanakan tidak
jarang mengandung kelemahan dan perlu untuk dikritik. Salah satu kritik pernah
dilontarkan oleh Winarno Surachmad (1986) yang menilai bahwa pembaharuan
pendidikan di Indonesia bersifat tambal sulam dan kurang mendasar.
Perubahan-perubahan kurikulum hanya menciptakan konfigurasi baru dengan isi
yang lama. Kritik Havelock dan Huberman (1977) dan World Bank (1980) yang
ditujukan pada pembaharuan pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk
sangat tepat untuk ditujukan pada pembaharuan pendidikan di Indonesia. Mereka
menyatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan tidak dapat dipraktekkan
karena keterbatasan pengetahuan pada tingkat pelaksana. Pembaharuan pendidikan
yang dilaksanakan cenderung bersifat "technocratic perspective",
artinya pembaharuan cenderung menekankan pada adopsi dari suatu perubahan
daripada implementasi pada level klas (Verspoar&Reno, 1986). Di samping itu
pendidikan di negara sedang berkembang cenderung mengambil alih apa yang telah
berhasil dilaksanakan di dunia Barat. Sehingga inovasi yang dilaksanakan
bersifat "metropolitan sentris". Karena bersifat "metropolitan
sentris" , tidak jarang suatu pembaharuan pendidikan akan mengakibatkan
perbedaan semakin tajam antara pendidikan di urban dan di rural. Hal ini bisa
dimaklumi, sebab guru-guru di kota lebih siap untuk menerima pembaharuan yang
dilaksanakan. Di samping itu, di banyak hal pembaharuan pendidikan yang
dilaksanakan di Indonesia tidak mempunyai strategi monitoring dan prosedure
evaluasi yang mantap. Sebagai contoh bisa disebut pembaharuan sistem dan
kurikulum sekolah pembangunan.
Lebih
mendasar lagi, tidak jarang pembaharuan yang kita laksanakan merupakan pengambilalihan
dari Barat, tanpa mengadakan modifikasi yang berarti dan mempertanyakan secara
mendalam hakekat dan aspek-aspek yang pokok yang ada pada ide yang akan diambil
tersebut. Dengan mempertanyakan hakekat ide yang akan dilaksanakan itu akan
dapat diperhitungkan kemungkinan implementasinya. Sebab pada hakekatnya
pembaharuan pendidikan harus berdasarkan pada What is, tidak pada
What ought to be; pembaharuan harus cocok dengan realitas
ruang-ruang kelas. Sebagai ilustrasi kritik ini dapat diambil sebagai contoh
pembaharuan pada metoda pengajaran. Dalam kurikulum 1984, hampir pada semua
pokok bahasan dicantumkan metoda cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai metoda
yang harus digunakan. Metoda ini telah berhasil menaikkan "gengsi"
pendidikan di Amerika pada tahun-tahun 1960-an. Metoda CBSA mementingkan proses
berpikir dan melatih inquiry skid. Kelebihan lain dari metoda ini
adalah meningkatkan critical thinking, merangsang intrinsic motivation
dan memberikan kemungkinan daya ingat yang lama pada diri siswa (Bruner, 1961).
Namun perlu diingat bahwa metoda ini memerlukan persyaratan tertentu untuk bisa
diimplementasikan. Misalnya, pelaksanaan metoda CBSA memerlukan kondisi dan
iklim kelas yang tidak terlalu formal dan fleksibel. Guru harus mempunyai
pengetahuan yang relatif luas. Pada diri murid sudah terpatri kecintaan dan
kesadaran pada hakekat ilmu, sikap ingin tahu, menghargai pikiran-pikiran dan
bukti-bukti kebenaran, objektif dan bersifat toleransi.
Patut
kita pertanyakan sudahkah syarat-syarat tersebut ada pada kelas-kelas dan
siswa-siswa di tanah air kita? Apa yang diketemukan di kelas-kelas di Indonesia
jauh dari yang diperlukan. Kelas-kelas masih sangat kaku dan formal.
Pengetahuan para guru relatif terbatas, oleh karena itu mereka tidak berani
membicarakan apa yang di luar silabi. Karena membicarakan di luar silabi memang
di luar kemampuannya. Di fihak lain, murid cenderung untuk mendengarkan,
menerima dan mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Apa yang diterangkan oleh
guru sudah dianggap merupakan kebenaran, oleh karena itu tidak perlu
dipertanyakan dan diuji lagi. Maka, tidak mengherankan kalau metoda CBSA hampir
dapat dikatakan tidak pernah dilaksanakan dalam ruang-ruang kelas. Selama
kondisi tersebut belum terpenuhi metoda CBSA tidak akan pernah hadir di kelas
secara riil.
Dalam
setiap pembaharuan pendidikan, guru memegang peran yang strategis, sebab
merekalah yang merupakan pelaksana pembaharuan pada level kelas. Namun,
pengalaman di Indonesia menunjukkan guru lebih banyak dilihat sebagai objek dalam pembaharuan pendidikan. Sehingga setiap kebijaksanaan sebagai ujud
pembaharuan pendidikan lebih banyak bersifat instruksi yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan dan tidak ada ruang bagi guru untuk berimprovisiasi. Perencanaan
dan kebijaksanaan nasional memang perlu, namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan
pembaharuan pendidikan sangat tergantung pada semangat, rasa keterlibatan, dan
kesadaran para guru. Guru akan memberikan respon yang positif pada setiap usaha
pembaharuan yang akan dapat meningkatkan kemampuan profesional mereka dan
memberikan ruang bagi mereka untuk berimprovisasi secara aktif dalam proses
pembaharuan tersebut. Oleh karena itu setiap upaya pembaharuan pendidikan
seharusnya menjadikan guru sebagai partisipan yang aktif, tidak hanya sebagai
penerima pembaharuan. Pembaharuan pendidikan yang cenderung menjadikan guru
sebagai objek dan sekedar penerima pembaharuan, apalagi hanya lewat instruksi,
cenderung untuk gagal. Dalam kaitan ini perlu untuk didengar pendapat Fullan
(1985) bahwa keberhasilan pem- baharuan pendidikan tergantung pada apa yang
difikir dan dilakukan guru.
Di
samping apa yang dikemukakan di atas, pembaharuan pendidikan di negara-negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia, jarang meng evaluasi dan
mengembangkan aspek lain dari pendidikan formal di luar kurikulum dan kemampuan
guru. Di samping aspek kurikulum dan kemampuan guru, sekolah mempunyai aspek
lain, yaitu aspek sosiologis; sekolah merupakan "a mini society".
Sebagai suatu masyarakat kecil, sekolah merupakan cermin dari masyarakat dimana
sekolah itu berada. Apa yang terdapat dan terjadi di masyarakat, pada dasarnya
terujud juga dalam sekolah. Di sekolah terdapat aturan-aturan yang mengikat
para anggotanya, baik anak didik maupun guru. Ada norma-norma dalam pergaulan
yang harus dipatuhi, terdapat interaksi antara sesamanya baik secara individual
maupun kelompok, terdapat konflik - konflik interes baik nampak maupun
tersembunyi. Sangsi-sangsi akan dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar
tatanan yang ada. Hak-hak dan kewajiban guru dan murid diakui.
Dalam
proses "transfer of culture", termasuk di
dalamnya proses pembentukan kepribadian, sikap, rasa dan juga intelektualitas,
aspek sekolah sebagai "a mini society" sangat
penting artinya. Model sekolah Muhammadiyah dengan memadukan antara Masjid dan
gedung sekolah, merupakan bentuk pengakuan pentingnya aspek sekolah sebagai
masyarakat kecil tersebut. Dalam dunia pendidikan terdapat dua teori yang
berkaitan dengan sekolah sebagai masyarakat kecil ini. Pertama, sekolah tempat
melatih dan mempersiapkan anak didik untuk terjun pada kehidupan mereka di masa
mendatang. Kedua, sekolah merupakan kehidupan riil anak didik itu sendiri,
bukannya tempat mempersiapkan anak didik. "School
is not preparation for life, but life it self"
(Dewey, 1944).
Implikasi praktis dari teori pertama,
anak didik dalam proses pendidikan diberlakukan sebagai objek pendidikan.
Mereka merupakan objek yang tengah digembleng dan dicetak agar mampu mengarungi
kehidupan di kemudian hari. Mereka bukanlah subjek di dunia sekolah yang ada
ini. Sayangnya, kemajuan yang pesat di bidang ilmu dan teknologi menyebabkan
perubahan-perubahan yang berlangsung di masyarakat sangat cepat dan sulit itu
bisa diramalkan dengan tepat (lihatToffler, 1974, 1981). Oleh karena itu timbul
pertanyaan, bagaimana mempersiapkan anak didik untuk mengarungi kehidupan di
kemudian hari itu sendiri tidak bisa diprediksi?
Teori kedua, menekankan hendaknya
sekolah diselenggarakan sedemikian rupa sehingga betul-betul merupakan kehidupan
riil anak didik itu sendiri. Implikasi dari teori ini adalah anak didik
merupakan subjek dari proses pendidikan. Kehidupan sosial anak didik dalam
masyarakat kecil tersebut merupakan dasar dan sumber dari transformasi
kehidupan. Peran paling penting dalam proses pendidikan bukanlah terletak pada
mata pelajaran yang diberikan, melainkan pada aktifitas dan interaksi sosial
anak didik itu sendiri. Peran guru menurut falsafah ini lebih banyak bersifat
tut wuri handayani; memberikan dorongan dan motivasi agar para anak didik mampu
memperluas kemampuan pandang, unluk mengembangkan berbagai altematif dan
pengambilan keputusan dalam aktifitas kehidupan serta memperkuat kemauan untuk
mendalami dan mengembangkan apa yang dipelajari dalam proses kehidupan itu.
Namun, perlu difahami pula, bahwa dengan menjadikan anak didik sebagai subjek
dalam proses pendidikan tidak berarti sekolah bersifat "value free".
Tetap saja, sekolah lewat guru dan kurikulum akan menanamkan values,
tetapi dengan cara "value-fair". Artinya dalam usaha
menanamkan nilai-nilai, guru tidak akan memaksakan sesuatu nilai tertentu
kepada anak didiknya. Melainkan guru melakukan usaha-usaha dengan berbagai cara
atau metoda, berbagai alat bantu, agar anak didik akan membenarkan dan menerima
nilai-nilai yang ia ajarkan, anak didik sendirilah yang menemukan dan
mengadopsi nilai-nilai yang ditargetkan oleh sekolah untuk ditanamkan pada anak
didiknya.
Banyak keberatan dari para ahli atas
bentuk sekolah berdasarkan teori yang pertama. Keberatan yang terpenting adalah
dengan menjadikan anak didik sebagai objek berarti pendidikan merupakan
tindakan "mencomot" anak didik dari lingkungannya sendiri untuk
dimasukkan ke dalam lingkungan yang lain yang belum tentu sesuai atau malahan
asing bagi anak didik. Lingkungan baru itu bernama sekolah. Kalau anak didik
tidak cocok dengan lingkungan baru, sebagai objek, anak didik tidak bisa
berbuat apa-apa. Masalahnya akan menjadi rumit, kalau apa yang dilihat,
diterima dan dihayati dalam lingkungan "mini society"
ini tidak sama atau malahan bertentangan dengan apa yang ia lihat, terima dan
hayati dari lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat. Akibat dari keadaan
ini, tidak mengherankan kalau banyak anak didik yang mengikuti pelajaran di
sekolah dengan setengah hati.
Di
fihak lain, lebih banyak para ahli yang keberatan dengan teori kedua. Keberatan
pokoknya adalah berkisar pada kekhawatiran pendidikan akan menjadi proses yang
tanpa arah dan " anarkis ". Sudah barang tentu pembaharuan pendidikan
di negara kita di masa mendatang harus pula memperhitungkan aspek sekolah
sebagai "a mini society" ini. Pembaharuan
pendidikan tidak berarti harus mengambil salah satu teori pendidikan secara
murni. Yang penting adalah bagaimana pembaharuan pendidikan bisa membuahkan
kebijaksanaan yang mengarahkan agar pendidik bisa memanfaatkan variasi
interaksi dan pengalaman riil yang diperoleh anak didik di sekolah sebagai
upaya untuk mencapai keberhasilan pendidikan.
Ada tiga hal yang telah dikemukakan
dalam pembahasan tentang pembaharuan pendidikan: kurikulum, guru dan sekolah
sebagai "a mini society". Pengembangan sekolah
di masa depan di mana perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat sangat
cepat dan unpredictabfe, ketiga hal tersebut tidak bisa ditinggalkan.
Perkembangan
Sekolah Dasar Yang Pesat
Dalam
proses pendidikan, sekolah dasar menempati posisi yang sangat vital dan
strategis. Kekeliruan dan ketidaktepatan dalam melaksanakan pendidikan di
tingkat dasar ini akan berakibat fatal untuk pendidikan tingkat selanjutnya. Sebaliknya,
keberhasilan pendidikan pada tingkat ini akan membuahkan keberhasilan
pendidikan tingkat lanjutan. Sayangnya, berbagai fihak justeru menempatkan
pendidikan dasar lebih rendah daripada tingkat pendidikan yang lain, terbukti
antara lain, dengan adanya kualifikasi dan gaji guru sekolah dasar yang berbeda
dengan sekolah lanjutan.
Usaha-usaha
meningkatkan kualitas sekolah dasar sudah sangat mendesak. Tanpa ada
peningkatan kualitas sekolah dasar yang mendasar, usaha-usaha peningkatan
kualitas sekolah lanjutan menengah pertama dan atas tidak akan berhasil dengan
maksimal. Di samping itu kondisi-kondisi yang ada menunjukkan bahwa secara
kuantitas penyediaan fasilitas sekolah dasar sudah memadai. Pada tahun 1986, sudah lebih dari 94% anak umur sekolah
dasar (umur 7 - 12) telah tertampung di sekolah-sekolah. Malahan sebagai hasil
dari program pengendalian penduduk, pertambahan murid sekolah dasar kelas satu
sudah mulai menurun. Untuk tahun-tahun mendatang ini, gejala-gejala menurunnya
murid kelas satu akan semakin nampak jelas terasa. Oleh karena itu, problema
sekolah dasar akan bergeser dari bagaimana menyediakan fasilitas bergerak
kepada bagaimana mengorganisir sekolah dasar yang semakin kecil tetapi bisa
semakin berkualitas. Bagi sekolah negeri barangkali problema ini tidak begitu
terasa, tetapi bagi swasta yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan
dengan usaha peningkatan kualitas sekolah dasar, Beeby (1983) mengidentifikasi
dua bentuk usaha peningkatan kualitas sekolah. Bentuk pertama, peningkatan
kualitas sistem dan manajemen sekolah. Hal ini berhubungan dengan "the
flow of students". Kedua, peningkatan kualitas
berkenaan dengan proses belajar-mengajar di ruang-ruang kelas.
Usaha
peningkatan kualitas yang berhubungan "the flow of students"
pada dasarnya bertujuan untuk menghilangkan pemborosan sebagai akibat internal
in-efficiency in education. Kebijaksanaan apa yang dapat
dikembangkan sehingga tingkat anak didik mengulang kelas dan putus sekolah bisa
ditekan, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Wajib Belajar Pendidikan Dasar,
untuk anak umur 7-15 tahun dan pembebasan uang SPP merupakan kebijaksanaan yang
penting dan tepat untuk mengurangi tingkat putus sekolah ini.
Untuk
menghilangkan "repeaters" nampaknya lebih sulit. Apalagi
informasi berkenaan dengan sebab-sebab ulang kelas ini sangat sedikit. Salah
satu usaha untuk menghilangkan ulang kelas adalah dengan menetapkan
"automatic class promotion system". Dengan sistem ini
anak didik setiap tahun secara otomatis akan naik kelas. Sehingga nanti umur
anak didik akan menunjukkan kelasnya. Sudah barang tentu kebijaksanaan ini
harus diiringi dengan kebijaksanaan "remedial programs".
Anak didik yang tidak bisa mengikuti pelajaran atau tertinggal harus mengikuti
pelajaran tambahan. Kebijaksanaan ini untuk negara kita tidaklah mustahil,
mengingat jumlah murid sekolah dasar semakin kecil sebaliknya jumlah guru
berlebihan. Dengan semakin kecilnya rasio murid-guru, maka guru akan bisa
mengenal dengan tepat perkembangan anak didik.
Dalam peningkatan mutu SD, masalah
kurikulum, kualitas guru dan lingkungan keluarga perlu mendapat perhatian. Pada
level nasional, pengembangan kurikulum merupakan proses politik, administrasi
dan birokrasi, serta sekaligus proses profesionalisme. Proses ini mengandung negosiasi
antara harapan-harapan dan sumber-sumber yang tersedia. Apabila dalam proses
pengembangan kurikulum ini masalah-masalah yang riil ada di kelas
diperhitungkan maka kurikulum akan memberikan sumbangan yang besar pada
peningkatan kualitas sekolah. Dua hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah kebutuhan lingkungan dan
kemampuan guru.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu yang lalu melontarkan ide perlunya warna
lokal pada kurikulum pendidikan kita. Ide tersebut sangatlah tepat dan perlu untuk
mendapatkan support dan partisipasi dari para pendidik. Kebhinekaan
masyarakat kita yang tercermin dalam banyak aspek kehidupan: lingkungan fisik,
sosial dan budaya, perlu untuk diperhitungkan dalam pengembangan kurikulum.
Realitas kebhinekaan ini, merupakan dasar yang logis untuk mengembangkan
kurikulum nasional yang berwarna lokal. Kurikulum yang "murni bersifat
nasional" sulit untuk bisa diterima. Kurikulum yang demikian itu akan
menghasilkan keterasingan pada sementara anak didik, sebab apa yang dipelajari
di sekolah tidak relevan dengan lingkungan sekelilingnya. Proses pengembangan
kurikulum berwarna lokal dalam kurikulum nasional hendaknya lebih banyak
menarik partisipasi para pendidik. Kalau di tingkat nasional pengembangan
kurikulum lebih banyak dilakukan oleh para "perencana dan administrator
pendidikan", maka pengembangan kurikulum lokal seyogyanya lebih banyak
ditentukan oleh pendidik sendiri.
Selain
isi kurikulum (intended curriculum) maka sistem pengajaran (the
instructionat delivery system) perlu untuk mendapat
perhatian. Pendidikan pada tingkat sekolah dasar diarahkan untuk mengembangkan
kreatifitas, kecintaan dan loyalitas pada tanah air, dan critical thinking
pada diri anak didik. Untuk mencapai tujuan ini maka model Student Active
Learning adalah merupakan metoda yang paling tepat. Kemampuan para guru
sekolah dasar perlu untuk ditingkatkan. Usaha-usaha peningkatan kualitas guru
sekolah dasar ini harus mendasarkan pada kemampuan guru yang ada sekarang ini
untuk diarahkan pada kemampuan yang diinginkan. Untuk ini perlu ada kegiatan
"need of assessment" sehingga berdasarkan kegiatan itu bisa disusun
"peta kualitas guru". Hal ini menghindarkan adanya "in service
training" yang tidak tepat. Langkah yang lebih mendasar, adalah
meningkatkan kualitas guru secara formal.
Usaha
peningkatan kualitas guru perlu pula dilakukan secara formal. Dalam arti
pensyaratan untuk menjadi guru sekolah dasar tidak cukup lulusan SPG, melainkan
perlu ditingkatkan menjadi lulusan perguruan tinggi. Hal ini sudah saatnya,
mengingat tenaga guru sekolah dasar sudah lebih dari cukup. Di samping itu
untuk melaksanakan pengembangan sekolah dasar di masa depan memang memerlukan
tenaga guru yang memiliki kualifikasi lebih tinggi. Untuk menghadapi
pembaharuan-pembaharuan pendidikan di masa mendatang dan menanggapi
perubahan-perubahan di masyarakat yang sangat cepat itu, kualifikasi guru SD
tamatan SPG sangat diragukan kemampuannya. Diharapkan pula dengan persamaan
kualifikasi untuk menjadi guru sekolah dasar dan guru sekolah lanjutan, di masa
mendatang perbedaan "derajat" antara kedua tingkat pendidikan itu
juga akan hilang. Labih daripada itu, adanya integrasi lembaga pendidikan dalam
satu institusi akan menguntungkan dalam menyusun rencana pengembangan kurikulum
pendidikan calon guru secara integral dan menyeluruh, termasuk pula kurikulum
untuk "in-service training".
Usaha-usaha
pengembangan kreatifitas anak didik dan kecintaannya pada tanah air dapat
dilaksanakan pula lewat proses interaksi yang terjadi di sekolah. Sebagaimana
yang telah disinggung di depan, sekolah adalah merupakan "a mini
society". Guru harus bisa memanipulasi aktifitas dan interaksi anak
didik untuk mengembangkan kreatifitas anak dan kecintaan pada tanah air.
Misalnya, bagaimana guru bisa memberikan kesempatan pada anak didik untuk
menentukan kegiatan olah raga yang akan dilaksanakan, apa yang harus dilakukan
pada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, membuat peraturan-peraturan
di kelas ataupun di luar kelas. Hasil pendidikan di sekolah dasar dipengaruhi
oleh lingkungan keluarga. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik di negara
Barat maupun di negara kita membuktikan statement di atas (lihat Sudarsono,
1984; Johnstone & Jiyono, 1983; Simmons, 1980). Ada lima aspek dari
lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pendidikan sekoiah dasar.
Pertama, pola perilaku anak dan orang tua; kedua, bantuan dan petunjuk orang
tua dalam belajar; ketiga, diskusi antara orang tua dan anak; dan, keempat,
penggunaan bahasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua. Anak dari
kalangan keluarga di mana ada struktur kegiatan memiliki prestasi yang lebih
baik dari pada anak yang datang dari kalangan keluarga yang tidak mempunyai
struktur kegiatan. Memiliki struktur kegiatan berarti dalam keluarga tersebut
ada jadwal kegiatan dan tanggung jawab anak secara jelas. Kapan waktu belajar,
waktu bermain, waktu membantu orang tua melakukan pekerjaan rumah tangga.
Waktu-waktu tersebut harus ditepati. Pelanggaran yang dilakukan akan dapat
mengakibatkan tidak dapat melihat TV, misalnya.
Bantuan
dan petunjuk orang tua bagi anak dalam kegiatan-kegiatan belajar sangat
diperlukan. Anak yang datang dari keluarga di mana orang tuanya membantu dan
memberikan petunjuk belajar mempunyai prestasi yang lebih baik daripada anak
yang datang dari keluarga yang tidak mau tahu tentang kegiatan belajar anaknya.
Sekolah bagi anak bukanlah merupakan kegiatan yang gampang. Orang tua perlu
memberikan support dan dorongan agar anak bisa tetap pada interes dan
kesenangan dalam belajar. Anak akan sering menghadapi kesulitan dalam satu mata
pelajaran tertentu atau lebih. Kesulitan-kesulitan akan menyebab- kan anak
patah semangat untuk belajar dan tidak jarang menyebabkan anak mempunyai "self-concept"
yang jelek. Usaha-usaha membesarkan hati manakala anak menghadapi kesulitan dan
memberikan pujian manakala anak mendapatkan prestasi yang baik sangat
diperlukan bagi anak-anak sekolah dasar.
Kegiatan
belajar anak pada hakekatnya tidak hanya berlangsung di sekolah atau di
ruang-ruang kelas. Di luar sekolah pun proses ini berlangsung. Orang tua bisa
menggunakan kesempatan kumpul sebagai media bagi anak untuk belajar. Anak-anak
yang datang dari keluarga di mana sering melakukan diskusi antara anggota
keluarga menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak yang di rumah tidak
pernah berbincang-bincang dengan orang tua atau saudaranya. Prestasi anak yang
datang dari keluarga di mana komunikasi sehari-harinya menggunakan bahasa
Indonesia (bahasa yang digunakan di sekolah) lebih tinggi daripada prestasi
anak yang di rumah tidak menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa
Indoensia di rumah akan memperkaya kemampuan bahasa anak. Secara langsung anak
mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia di rumah.
Keluarga
merupakan tempat di mana anak bisa mendapatkan motivasi untuk belajar dan
mengembang kan harapan-harapan pendidikan dan gaya hidup di masa depan. Orang
tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengembangkan motivasi dan
aspirasi pendidikan anak. Orang tua seyogyanya mempunyai informasi yang jelas
tentang aktifitas anak di sekolah, mata pelajaran apa yang membuat anak senang
dan tidak senang, di mana kelebihan dan kekurangan anak dalam belajar. Orang
tua di samping memberikan support seyogyanya juga memberikan standar
yang harus dicapai oleh anak. Anak-anak yang datang dari keluarga di mana orang
tua mengembangkan motivasi dan aspirasi belajar anak, memiliki prestasi yang
lebih tinggi dari pada anak yang datang dari keluarga di mana orang tua tidak
pemah mengembangkan motivasi dan aspirasi pendidikan anaknya.
Melihat
hasil-hasil penelitian di atas, maka usaha peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah dasar, khususnya, bisa dipisahkan dari lingkungan keluarga. Orang tua
tidak bisa menyerahkan secara 100% agar anaknya dididik di sekolah. Perlu ada
kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam usaha meningkatkan kualitas
sekolah. Orang tua perlu mendapatkan informasi apa yang harus dilakukan di
rumah untuk menunjang keberhasilan anak di sekolah. Hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan di Indoensia bisa dijadikan bahan untuk diinformasikan kepada
orang tua. Problemanya, siapa yang harus melakukan? Sekolah-sekolah mempunyai
lembaga Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3). Sampai saat ini
lembaga tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal, baru terbatas untuk
menghubungkan dana pem- bangunan gedung. Sesungguhnya BP3 ini bisa ditingkatkan
peranannya, dari pengumpul uang pembangunan gedung menjadi pemegang peran
mempertemukan apa yang terjadi di sekolah dan apa yang seyogyanya dilakukan
oleh orang tua kepada anaknya di rumah, dalam kaitannya dengan proses belajar
anak di sekolah. Dengan kata, lain untuk peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah dasar perlu ada kerjasama yang erat antara orang tua dan guru, antara
sekolah dan rumah. Orang tua tahu apa yang terjadi di sekolah, sebaliknya guru
bisa memberikan pengarahan apa yang seyogyanya dilakukan oleh orang tua
terhadap anak dalam rangka menunjang keberhasilan anak di sekolah.
Peranan IKIP
Dalam setiap pembaharuan pendidikan, IKIP sebagai lembaga
pencetak guru mempunyai posisi strategis. Di samping berfungsi mencetak guru,
IKIP dituntut untuk bisa melakukan penelitian-penelitian yang bisa mendukung
usaha-usaha pembaharuan. Ide-ide baru diharapkan muncul di lembaga pendidikan
guru ini. Tugas yang tidak kalah pentingnya lagi adalah menyediakan tempat bagi
"'in-service training". Dalam kaitan dengan
pengembangan sekolah di masa depan, IKIP seyogyanya memberikan perhatian kepada
usaha-usaha peningkatan kualitas guru sekolah dasar.
Semenjak Pelita I pendidikan di Indonesia
mengalami perkembangan yang pesat. Namun demikian, masih banyak problema yang
harus dipecahkan. Salah satunya adalah bagaimana dapat mengembangkan sekolah
yang mampu menghadapi perubahan-perubahan di masyarakat yang berlangsung dengan
cepat. Untuk itu, pembaharuan pendidikan yang mendasar perlu untuk
dilaksanakan. Strategi yang paling tepat, adalah melaksanakan pembaharuan di
bidang kurikulum, peningkatan kualitas guru dan menggunakan sekolah sebagai "a
mini society" sebagai sarana pendidikan. Pembaharuan lebih
dititik beratkan pada tingkat sekolah dasar. Dalam kaitannya dengan pembaharuan
sekolah dasar, perlu disinkronkan antara pendidikan di sekolah dan pendidikan
di rumah.
Dalam
setiap pembaharuan pendidikan, guru harus diberikan kesempatan untuk berperan
secara aktif. Sebab, pada hakekatnya, pembaharuan di laksanakan di kelas-kelas.
Sehubungan dengan peran guru, maka IKIP sebagai lembaga yang mempersiapkan
guru, perlu untuk meningkatkan kualitasnya, khususnya, kualitas staf pengajar. Pada zaman modern peranan pendidikan dalam
pembangunan guna mewujud kan kemakmuran dan kesejahteraan semakin penting.
Pengalaman pembangunan ekonomi di negara-negara Asia Timur khususnya,
membuktikan statement tersebut.Secara lebih terperinci, pengalaman
pembangunan ekonomi di Korea Selatan, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas
antara pertumbuhan ekonomi dan pendidikan. Pendidikan diukur dengan
partisipasi pendidikan untuk anak usia sekolah dan pertumbuhan diukur dengan
pendapatan perkapita, menunjukkan adanya critical mass (Boediono,
1996) pendidikan yang diperlukan untuk mewujudkan angka pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Di samping itu, kualitas pendidikan juga memiliki peranan yang
penting. Kualitas pendidikan memiliki arti bahwa lulusan pendidikan memiliki
kemampuan yang sesuai, sehingga dapat memberikan kontribusi yang tinggi bagi
pembangunan. Kualitas pendidikan, terutama
ditentukan oleh proses
belajar mengajar yang ber-langsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses
belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru adalah creator
proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas
bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik dan mampu mengekspresikan ide-ide
dan kfeativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara
konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi anak didik.
Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembaagan masyarakatnya
akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas
kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Namun,
realitas menunjukkan kualitas pendidikan di negara kita masih memprihatinkan.
Selama ini kualitas pendidikan yang antara lain dicerminkan oleh NEM atau nilai
ujian UMPTN dari tahun ke tahun cenderung statis tidak menunjukkan angka yang
meningkat. Keadaan ini merupakan tanda-tanda bahwa kualitas pendidikan jalan di
tempat, tidak ada peningkatan kualitas pendidikan. Sudah barang tentu keadaan
tersebut berkaitan dengan proses yang berlangsung di ruang-ruang kelas.Proses
belajar mengajar di sekolah belum sebagaimana yang diharapkan. Ruang-ruang
kelas menjadi tempat yang menakutkan, membosankan dan menjemukan bagi para
siswa. Ruang-ruang kelas belum dapat berperan sebagai tempat di mana siswa
ditantang untuk menunjukkan kebolehannya. Sebaliknya, ruang-ruang kelas
merupakan tempat di mana identitas dan kepribadian "aku''nya telah
diluluhkan menjadi raw input dalam mesin besar industri
pendidikan. Mereka para siswa bukan merupakan subjek dalam proses pendidikan,
melainkan sebagai objek dalam pendidikan. Oleh karena sebagai raw input
mereka harus tunduk dan patuh atas aturan dan prosedur yang telah ditetapkan
oleh fihak sekolah. Salah satu penyebab dari keadaan dunia pendidikan yang
kurang menggembirakan tidak pelak lagi ditujukan pada ketidakmampuan guru.
Banyak tanda-tanda menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang
diharapkan.
Permasalahan Guru
Permasalahan pendidikan dapat didekati
dengan pendekatan macrocosmics dan microcosmics. Pendekatan macrocosmics
berarti permasalahan guru dikaji dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di
luar guru. Hasil pendekatan ini adalah bahwa rendahnya kualitas guru dewasa ini
di samping muncul dari keadaan guru sendiri juga sangat terkait dengan
faktor-faktor luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru, antara lain: a) penguasaan guru atas bidang
studi, b) penguasaan guru atas metode pengajaran, c) kualitas pendidikan guru,
d) rekrutmen guru, e) kompensasi guru, f) status guru di masyarakat, g)
manajemen sekolah, h) dukungan masyarakat, dan, i) dukungan pemerintah.
Penguasaan
guru atas bidang studi yang akan diajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu
yang mutlak sifatnya. Sebab, dengan materi bidang studi tidak saja guru akan
mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebih daripada itu,
dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical
thinking, mendorong kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak
kalah pentingnya adalah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu
pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang
metodologi pengajaran juga penting. Tetapi perlu dicatat bahwa, kemampuan
metode dalam pengajaran kalau diujudkan dalam simbol bagaikan angka
"0". Artinya, betatapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi
pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak digabungkan dengan angka
lain 1, 2, 3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari kemampuan
penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi inilah
kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang
studi para guru kalau diujudkan dalam skor yang terentang antara 0-10, terletak
pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah
lagi.
Rendahnya
penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan
rekrutmen colon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk
kurikulum yang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan
guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru (IKIP, FKIP,
dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum
pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di
universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping
memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata
kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu diberlakukannya kurikulum
pendidikan guru 1984, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan
guru harus lebih menekankan pada metode mengajar dibandingkan dengan penguasaan
materi bidang studi. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau beban SKS di
lingkungan pendidikan guru didominasi oleh mata kuliah pendidikan. Sebaliknya,
mata kuliah bidang studi jauh berkurang. lbaratnya, pada kurikulum 1984 ini
cara memegang kapurpun diajarkan di IKIP/FKIP/STKIR Hasilnya, lulusan
pendidikan guru dengan kurikulum 1984 tidak mampu mengajar sebagaimana
seharusnya. Pada akhir tahun 1980-an kembali terdapat perubahan kurikulum di
lingkungan pendidikan guru. Namun, kurikulum baru juga menunjukkan ambivalensi
antara penekanan pada bidang studi dan pada metode mengajar. Oleh karena itu
hasil pendidikan guru masih juga diragukan, khususnya di bidang penguasaan
bidang studi.
Sesungguhnya
perubahan kurikulum pendidikan guru yang terjadi tidak bisa dilepaskan begitu
saja pada pemahaman akan hakekat profesi guru. Apakah guru diketagorikan
sebagai hard profession atau soft profession. Sebab,
masing-masing kategori memiliki implikasi yang berbeda terhadap lembaga dan
program pendidikan guru. Suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai hard
profession apabila pekerjaan tersebut dapat didetailkan dalam perilaku
dan langkah-langkah yang jelas dan relatif pasti. Pendidikan yang diperlukan
bagi profesi ini adalah menghasilkan output pendidikan yang dapat
distandarisasikan. Artinya, kualifikasi lulusan jelas dan seragam di manapun
pendidikan itu berlangsung. Dengan kualifikasi ini seseorang sudah mampu dan akan
terus mampu melaksanakan tugas profesinya secara mandiri meskipun tanpa
pendidikan lagi. Pekerjaan dokter merupakan contoh yang tepat untuk mewakili
kategori hard profession. Sebaliknya, kategori soft profession
adalah diperlukannya kadar seni dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Ciri
pekerjaan tersebut tidak dapat dijabarkan secara detail dan pasti. Sebab,
langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil, sangat ditentukan oleh kondisi
dan situasi tertentu. Implikasi kategori soft profession tidak
menuntut pendidikan dapat menghasilkan lulusan dengan standar tertentu
melainkan menuntut lulusan dibekali dengan kemampuan minimal. Kemampuan ini
dari waktu ke waldu harus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas
pekerjaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga in-service
training bagi soft-profession amat penting. Barangkali, wartawan,
advokat, dan guru merupakan contoh dari kategori profesi ini.
Berdasarkan
pemahaman bahwa tugas guru merupakan soft profession, maka diperlukan
perubahan yang mendasar pada proses pendidikan guru kita. IKIP tidak perlu
diperluas menjadi universitas, sebaliknya IKIP harus dilebur dalam universitas.
Apakah ke dalam universitas yang sudah ada atau baru bukan hal yang prinsip.
Prinsip yang mendasar adalah bahwa semua fakultas atau bidang studi di
universitas memberikan kesempatan kepada para mahasiswa yang sudah
menyelesaikan mata kuliah bidang studi untuk memiliki sertifikat mengajar dengan
mengambil mata kuliah pendidikan dan praktek mengajar di sekolah. Dengan
demikian, sistem pendidikan guru ini memiliki kelebihan dari yang sekarang ini.
Pertama, pendidikan guru adalah S1 PLUS bidang pendidikan. Kedua, pendidikan
guru tidak inferior dibandingkan dengan pendidikan ilmu murni. Ketiga,
pendidikan guru akan memperoleh input yang berkualitas dengan mengundang
mahasiswa yang berotak cemerlang. Memang terdapat kemungkinan sangat sedikit
mahasiswa yang mengambil sertifikasi mengajar. Namun, keadaan ini hanya
bersifat sementara, karena kekurangan tenaga guru akan meningkatkan daya saing
guru.
Kualitas
guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru
di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari
kondisi ekonomi suatu negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan
tidak pas kalau tidak ditimbang dengan kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di
Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara
absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut
diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena
itu, bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan
pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru. Lagu “Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”
sangat mulia dan terhormat. Dalam setiap kesempatan wisuda sering lagu tersebut
diperdengarkan, dan hadirin terbuai dengan kesyahduan. Namun, barangkali bagi
guru sendiri akan lebih senang kalau lagu diubah menjadi "Guru Pahlawan
Penuh Tanda Jasa”. Dengan demikian, kelak tidak hanya muballigh yang ber
BMW atau Mercy, tetapi juga para guru akan ber-Kijang atau ber-Escudo, simbol
kemakmuran masyarakat dewasa ini. Namun, barangkali merupakan suatu
kemustahilan, paling tidak untuk jangka pendek, untuk merealisir kompensasi
guru yang memadai kalau hanya bersandarkan kepada anggaran pemerintah.
Barangkali, sudah masanya untuk dipikirkan mobilisasi dana pendidikan atau dana
kesejahteraan guru yang berasal dari masyarakat. Kalau untuk keperluan lain
dana mudah diperoleh misalnya untuk prestasi olah raga, mengapa tidak bagi
prestasi guru? Di sinilah letaknya, partisipasi orang tua dan dukungan
masyarakat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas guru.
Kualitas guru yang ditunjukkan oleh
kualitas kerja tidak dapat dilepaskan dari manajemen pendidikan. Manajemen
pendidikan yang sentralistis, dengan menempatkan pengambilan keputusan di
tangan-tangan yang jauh dari guru tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan
kualitas kerja guru. Misalnya, keharusan guru untuk mengajar dengan CBSA,
menempatkan guru pada posisi yang tidak menyenangkan. Sebab, pelaksanaan proses
belajar mengajar di kelas sangat tergantung pada kondisi dan situasi yang
dipengaruhi oleh berbagai variabel. Oleh karena itu keputusan tentang bagaimana
proses belajar mengajar harus dilaksanakan yang ditentukan dari atas sulit
untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang
harus dilakukan. Di fihak lain, dengan adanya ketentuan dari pusat beban guru
lebih ringan. Karena kegagalan dalam rnengajar bukan hanya dikarenakan olehnya
tetapi juga oleh instruksi dari atas yang tidak jalan karena tidak cocok dengan
keadaan di lapangan. Oleh karena itu, pemberian otoriomi yang lebih besar kepada
guru dalam melaksana kan proses belajar mengajar akan memberikan rasa tanggung
jawab lebih besar kepada guru. Rasa tanggung
jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat
dideskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat tergantung pada kemampuan dan
dedikasi guru di satu fihak dan motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak
lain. Oleh karena itu, guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar
juga harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa.
Tugas tersebut tidak ringan mengingat karakteristik yang melekat pada pekerjaan
guru. Karakteristik pertama adalah pekerjaan guru bersifat individual dan
cenderung non-collaborative. Kedua, pekerjaan guru dilakukan di
ruang-ruang kelas yang terisolir dalam jangka waktu yang lama. Ketiga, ini
merupakan akibat pertama dan kedua, waktu guru untuk berdialog akademik dengan
sesama guru sangat terbatas. Karakteristik kerja guru ini menyebabkan guru
merupakan pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan umpan balik. Tanpa adanya
umpan balik sulit bagi guru untuk dapat meningkatkan kualitas profesinya. Umpan
balik merupakan sesuatu yang diperlukan oleh guru. Untuk itu, guru perlu
dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan self-reflection, untuk mengevaluasi
apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana hasilnya.
Analisis dengan gabungan pendekatan macrocosmics
dan microcosmics, menunjukkan bahwa persoalan guru dapat dikategorikan
ke dalam berbagai kelompok. Mengikuti model analisis yang dikembangkan
Boediono mengelompokan sasaran wajib belajar menjadi 8 kelompok berdasarkan
kemampuan ekonomi dan aspirasi pendidikan orang tua, persoalan guru dapat
dikategorikan berdasarkan tiga variabel: ekonomi dengan predikat cukup dan
kurang, kemampuan dengan predikat mampu dan tidak mampu, dan variable dedikasi
dengan predikat penuh dedikasi dan kurang dedikasi. Dengan demikian terdapat
delapan kelompok guru: 1) ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi, 2) ekonomi
cukup, mampu, tetapi tidak memiliki dedikasi, 3) ekonomi cukup, kurang mampu,
tetapi memiliki dedikasi tinggi, 4) ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak
memiliki dedikasi, 5) ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi, 6)
ekonomi tidak mampu, tidak memiliki dedikasi tetapi mampu, 7) ekonomi kurang,
tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi, dan, 8) ekonomi kurang, tidak
mampu dan tidak memiliki dedikasi.
Sudah
barang tentu, kebijakan dan program peningkatan kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar tidak mungkin secara spesifik mendasarkan
pada kategorisasi tersebut. Betapapun juga, gambaran kategori tersebut perlu
untuk direnungkan dalam membenahi dan menata guru dewasa ini. Paling tidak,
upaya peningkatan kualitas guru dengan penataran untuk meningkatkan kemampuan
tidak cukup. Sebab, masih ada faktor lain yang perlu sentuhan, yakni
semangat-dedikasi guru dan kesejahteraannya.
Kebijakan Meningkatkan Kualitas
Kebijakan dan program peningkatan kualitas guru daiam
melaksanakan proses belajar mengajar harus menyentuh tiga aspek sebagaimana
dikemukakan di atas: aspek kemampuan, aspek semangat dan dedikasi, dan aspek
kesejahteraan. Kebijakan yang tidak lengkap, yang tidak mencakup ketiga aspek
tersebut cenderung akan mengalami kegagalan. Kebijakan untuk meningkatkan
kualitas guru harus banyak bertumpu pada inisiatif dan kemauan yang datang dari
fihak guru sendiri. Dengan kata lain guru sebagai subjek bukannya objek. Untuk
pengembangan kemampuan guru untuk belajar (bukan mengajar) sangat penting. Kemampuan belajar mencakup kemampuan untuk membaca
dan mengkaji fenomena masyarakat secara efisien, kemampuan untuk menentukan
bahan yang relevan dan perlu untuk dikaji, dan, kemampuan untuk mencari sumber
pengetahuan. Dalam kaitan ini suatu mekanisme atau prosedur untuk munculnya
umpan balik bagi guru sangat penting artinya. Salah satu yang mungkin
dilaksanakan adalah membekali guru dengan kemampuan untuk melakukan self
reflection, lewat action research.
Kemampuan untuk belajar ini akan dapat
terus hidup dan tumbuh subur manakala guru memiliki cukup ruang untuk
berinisiatif dan berimprovisasi. Untuk itu instruksi, jukiak dan juknis yang
berkaitan dengan pengajaran harus diminimalkan, kalau tidak dapat dihilangkan
sama sekali. Perluasan otoritas guru ini harus pula diiringi dengan kebijakan
untuk mengembangkan sistem accountabilitas sekolah yang jelas dan transparan.
Sekolah, termasuk guru harus menyusun program dan target kegiatan yang jelas
dan dikomunikasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat. Hasil kerja sekolah
atas pencapaian target harus dapat dievaluasi dengan jelas oleh orang tua dan
masyarakat. Sekolah harus meletakkan orang tua dan masyarakat sebagai konsumen.
Kepuasan konsumen harus ditempatkan pada prioritas paling tinggi. Untuk itu,
sekolah di bawah pimpinan kepala sekolah harus dapat bekerja secara mandiri.
Sekolah harus dijiwai watak ekonomi, kerja efektifdan efisien. Dalam kaitan
inilah, school site based management merupakan suatu
tuntutan dasar dalam. Upaya peningkatan kualitas sekolah. Dengan sistem
manajemen ini otoritas sekolah semakin besar, termasuk tanggung jawab memajukan
sekolah. Semakin besar otoritas dan tanggung jawab ini pada gilirannya akan
meningkatkan kesadaran pada diri guru untuk memberikan yang terbaik bagi
siswanya.
Upaya
peningkatan kualitas guru untuk meningkatkan kualitas lulusan harus disertai
dengan peningkatan kesejahteraan guru. Prinsip school site based
management menuntut partisipasi dari fihak orang tua siswa dan
masyarakat lebih besar. Partisipasi yang pertama berkaitan dengan upaya
mobilisasi dana pendidikan, dan partisipasi kedua adalah aktivitas mereka dalam
ikut memikirkan kemajuan sekolah. Oleh karena itu, sistem kerjasama orang tua
dan sekolah perlu dikembang-suburkan. Dalam mobilisasi dana pendidikan akan
terjadi ketimpangan antara satu sekolah dengan sekolah lain, sebagai akibat
adanya perbedaan kualitas sekolah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin
berkualitas suatu sekolah maka akan semakin besar kemampuan sekolah untuk
memobilisasi dana pendidikan dari kalangan orang tua siswa dan masyarakat Sudah
barang tentu hal ini tidak perlu untuk dicegah. Yang penting adalah alokasi
anggaran pendidikan pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi sekolah
masing-masing. Anggaran pemerintah seyogyanya diarahkan ke sekolah - sekolah
yang tidak mampu memobilisasi dana disebabkan kemampuan orang tua siswa yang
rendah.
Usaha
yang tiada pernah mengenal akhir bagi suatu negara adalah usaha untuk
meningkatkan kemakmuran bangsanya. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya apa yang
dinamakan kemakmuran tidak ada batasnya. Negara yang sudah sedemikian maju pun,
seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat, misalnya, masih juga berjuang keras
untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Khususnya negara-negara sedang berkembang, nampaknya harus berusaha
lebih keras dalam upaya meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Suatu
keuntungan bagi negara- negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah
bisa mengambil pelajaran dari apa yang dialami oleh negara-negara yang sudah
terdahulu mengalami kemajuan. Dalam kaitan ini,
dalam upaya meningkatkan
kemakmuran bangsanya, kiranya
negara-negara sedang berkembang patut menyimak peringatan Task Force
on Teaching as a Profession on the
Carnegie Forum on Education and the Economy
bahwa "Dalam usaha kemajuan, suatu bangsa harus.sepenuhnya menyadari dua
kebenaran yang fundamental ; yakni, a), keberhasilan usaha mencapai kemajuan
tergantung pada keberhasitan menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik
daripada sebelumnya, dan b). kunci keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan
tergantung pada keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang
profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk
merencanakan sekolah masa depan.
Perubahan Yang Terus Berubah
Proses pendidikan tidak berlangsung dalam suasana yang
steril dan vakum, melainkan proses pendidikan akan senantiasa berinteraksi
dengan lingkungan, baik sosial, politik, budaya, ekonomi, dan agama. Oleh
karenanya, dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas guru para
pemegang kebijakan di bidang pendidikan harus senantiasa mengkaji dan memahami
perkembangan masyarakat. mengkaji dan memahami masyarakat lingkungan di mana
pendidikan senantiasa bereaksi merupakan sesuatu yang tidak ringan, untuk tidak
mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang berat. Tetapi persoalannya akan semakin
pelik, karena apa yang dinamakan dengan lingkungan masyarakat senantiasa
berubah dengan cepat. Sir Charles R Snow, Filosof dan sastrawan berkebangsaan
Inggris, dalam suatu karya klasiknya The Two Cultures
memberikan gambaran kecepatan perubahan yang terjadi di masa depan dengan
menyatakan "bahwa selama sejarah umat manusia sampai abad ini tingkat
perubahan sosial sangat lambatnya sehingga perubahan dapat berlangsung tanpa
kita ketahui. Tetapi lambatnya perubahan sosial tidak akan terjadi lagi.
Perubahan sosial di masa datang/depan akan berlangsung sangat cepat. Begitu
cepatnya perubahan sehingga imajinasi kita sekalipun tidak kuasa
mengikutinya".
Setiap
perubahan sosial yang terjadi membawa problema baru di masyarakat. Unluk
menghadapi problema-problema baru tersebut masyarakat menuntut pembaharuan
pendidikan dan kualifikasi baru untuk guru. Dengan demikian, pembaharuan harus
pula dilaksanakan pada lembaga pendidikan guru. Banyak problema yang akan dihadapi
oleh masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi adanya perubahan-perubahan sosial
yang cepat di masa mendatang. Antara lain:
1.
Fungsi dan daya guna lembaga-lembaga sosial akan
merosotdan tuntutan individu dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat
semakin meningkat.
2.
Timbulnya apa yang disebut
"disinformation through over information". Informasi
yang berkembang di masyarakat akan melimpah sehingga Naisbitt mengatakan
masyarakat akan ditenggelamkan oleh informasi. Akibatnya informasi yang ada
hanya mempunyai daya laku semakin pendek. Keadaan ini juga mempengaruhi di
bidang pengetahuan di mana "kebenaran hari ini adalah suatu hal yang salah
untuk hari berikutnya".
3.
Melimpahkan informasi yang ada di
masyarakat akan membawa kontradiksi informasi dan peningkatan kecepatan
perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan kekuasaan di segala aspek
kehidupan. Termasuk kekuasaan
orang tua, kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin politik.
4.
Berkembangnya rasa "pesimisme" di kalangan
masyarakat terhadap perkembangan yang ada, misalnya pertumbuhan penduduk yang
cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang semakin meluas.
Pesimisme yang berlebihan akan bisa menimbulkan sikap tak acuh ataupun
sebaliknya, sikap radikal revolusioner.
5.
Empat krisis uang telah disebut di
depan akan menimbulkan krisis di dalam memahami apa yang terjadi di dunia ini.
Ellol, sosiolog Perancis, menggambarkan krisis ini dengan mengemukakan,
"Kita semua hidup di dalam suatu masyarakat yang tidak bisa dibayangkan. Seseorang
tidak lagi bisa memiliki pengetahuan tentang masa depan melebihi apa yang
diketahui tentang masa kini ....... Jalinan hubungan antara fenomena, reaksi
satu terhadap yang lain, mekanisme hubungan antara peristiwa satu dengan yang
lain yang tidak terduga, dampak dari informasi yang tidak dapat diperhitungkan
lagi, faktor-faktor yang saling mengkait yang muncul begitu terpisah satu
dengan yang lain......... dan perasaan terjebak pada keadaan yang memusingkan sehingga tidak dapat
melepaskan diri. Masyarakat nampaknya tidak bisa melepaskan dari keadaan yang
membingungkan disebabkan apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa dilihat secara menyeluruh
komprehensif.
Implikasi Pada Dunia Pendidikan
Trend perkembangan dunia sebagaimana
ditunjukkan dengan adanya perubahan sosial yang cepat di atas menuntut adanya
paradigma baru dunia pendidikan. Yakni adanya pandangan holistis. Pandangan ini
berarti pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat
global. Pandangan holistis ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia
pendidikan, a). Bahwa pendidikan akan menekankan pada anak didik "berfikir
secara global dan bertindak bersifat lokal", dan b). pembaharuan makna
efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula
keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk semuanya.
Dengan adanya paradigma baru di atas maka tuntutan
kualifikasi hasil pendidikan juga akan berubah. Pendidikan dituntut
untuk menekankan pengembangan kemampuan tertentu pada diri anak didik. Antara
lain : a) kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global dengan
pendekatan multidisipliner, b) kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang
sedemikian deras, untuk kemudian dapat dipergunakan untuk kehidupan
sehari-hari, c) kemampuan untuk menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain
secara kreatif, d) meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi
kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, e) menekankan pengajaran lebih
pada learning how to learn, dari pada learning
something.
Sebagai konsekuensi
paradigma baru pendidikan, dan tuntutan pembaharuan pendidikannya maka dunia
pendidikan memerlukan guru-guru dengan kualifikasi dan kemampuan baru. Sebagai
konsekuensi lebih lanjut berarti pembaharuan pendidikan menuntut pembaharuan
bagi pendidikan guru. Pembaharuan pada pendidikan guru pada dasarnya di arahkan
agar pendidikan guru mampu menghasilkan guru-lulusan sesuai dengan tuntutan
kualifikasi masa depan di mana masyarakat senantiasa berubah dengan cepat.
Implikasi perubahan masyarakat yang beritingsung dengan
cepat dan pembaharuan pendidikan pada pendidikan guru antara lain dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Masyarakat
mengalami perubahan-perubahan yang berlangsung terus-menerus dalam tempo yang
cepat mengakibatkan pengetahuan dan kemampuan guru "merosot".
Sebaliknya, perubahan-perubahan yang cepat menuntut guru harus senantiasa
meningkatkan kemampuan dirinya untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan. Sehingga
pada hakekatnya para guru di masa depan dituntut untuk bisa mengembangkan life
long education. Oleh karena itu lembaga pendidikan guru perlu
mengembangkan inservice training yang berkesinambungan. Dengan inservice
training yang berkesinambungan ini diharapkan guru senantiasa mampu
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakat. Salah satu model yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guru
adalah mengembangkan hubungan dengan alumni dalam suatu struktur organisasi
yang memadai yang bisa berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan kepada para
anggota baik lewat modul-modul ataupun majalah-majalah. Kesemuanya dalam upaya
menempatkan para anggota pada posisi yang mampu menyadap pengetahuan baru.
2.
Di masa depan arus informasi
berlangsung pada debit yang sangat deras. Alfin Toffler mengatakan masyarakat
akan dihadapkan pada over choices, pilihan yang berlebih-lebihan.
Dalam keadaan yang sedemikian ini kemampuan yang dibutuhkan oleh warga
masyarakat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Dengan
demikian pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
pengambilan keputusan tersebut. Implikasinya pada lembaga pendidikan guru
adalah bahwa beranjak dari semata-mata menekankan pada mastery learning
ke arah pada pengembangan critical thinking, decision making
skills dan communication skills. Dengan demikian pendidikan lembaga
pendidikan guru akan menekankan pada pengembangan kemampuan untuk menseleksi
informasi, kemampuan untuk memahami dan memecahkan problema, kemampuan untuk
mengembangkan alternatif, dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Konsekuensi lebih lanjut proses belajar mengajar pada lembaga
pendidikan guru harus bergeser dari subject oriented menjadi problem
oriented.
3. Membanjiri informasi di masyarakat menuntut
penekanan pada proses lebih daripada hasil. Dengan demikian
penyampaian materi dalam proses belajar akan lebih bersifat problem oriented
daripada bersifat materi oriented. Hal ini menyebabkan guru tidak
bisa lagi berperan sebagai satu-satunya sumber informasi bagi anak didik. Guru
akan lebih banyak dituntut berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam
proses belajar mengajar. Implikasinya, lembaga pendidikan guru harus bisa
memberikan model, bagaimana peran dosen sebagai fasilitator dan motivator.
Dengan kata lain, perlu ada perubahan penampilan para dosen lembaga pendidikan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai pengajar.
4.
Perubahan-perubahan yang berlangsung
dengan cepat, mengakibatkan struktur pekerjaan dan kualifikasi pekerjaan juga
akan berubah dengan cepat. Akibatnya, pendidikan tidak bisa lagi mempersiapkan
lulusannya untuk memasuki dunia kerja dengan sebaik-baiknya. Hal ini
dikarenakan kecepatan perubahan yang terjadi menjadikan kurikulum memecahkan
masalah yang sebenarnya tidak ada, dan tidak mampu memecahkan masalah yang sesungguhnya
dihadapi. Dengan demikian kurikulum akan senantiasa memerlukan revisi yang
relatif cepat. Konsekuensinya, diperlukan guru-guru yang mempunyai daya
adaptasi tinggi, untuk mampu menghadapi perubahan kurikulum. Keadaan ini
menuntut pada pendidikan guru untuk bisa menghasilkan lulusan yang mampu
mengembang kan materi pelajaran yang senantiasa berkembang dan berubah. Oleh
karena itu lembaga pendidikan guru perlu untuk menyusun kurikulum yang lebih
mempunyai daya fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)