Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar
bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan
sia-sia. Semisal ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya
persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan
materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah,
melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah
SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan
sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih
rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang
menuntut kualifikasi pendidikan yang
lebih tinggi. Untuk itu,
betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan
dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan
pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam
kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era
globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek
kehidupan masyarakat.
Kebijakan yang baik untuk problem yang tidak benar
bagaikan memberikan obat yang mujarab untuk penyakit yang keliru: Hasilnya akan
sia-sia. Semisal ini relevan bagi dunia pendidikan dewasa ini. Sesungguhnya
persoalan pendidikan kita dewasa ini bukannya semata kemampuan penguasaan
materi pelajaran siswa rendah sebagaimana ditunjukkan oleh NEM yang rendah,
melainkan juga terjadinya degradasi pendidikan. Artinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama dewasa ini diperlukan latar belakang pendidikan yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi Prajurit Tamtama ABRI diperlukan ijazah
SMU, sedangkan pada masa lampau cukup dengan ijazah SD. Sudah barang tentu akan
sangat naif apabila kemudian menyimpulkan bahwa lulusan SD sekarang lebih
rendah dibandingkan dengan lulusan SD masa lampau. Kemajuan masyarakatlah yang
menuntut kualifikasi pendidikan yang
lebih tinggi. Untuk itu,
betapapun kualitas NEM ditingkatkan tetap saja akan terjadi problem pendidikan
dalam masyarakat. Sebab, hakekat persoalannya bukan di situ. Persoalan
pendidikan kita yang mendasar adalah bagaimana melakukan peningkatan mutu dalam
kerangka reformasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan zamannya, yakni era
globalisasi dengan segala kecepatan perubahan yang terjadi di segala aspek
kehidupan masyarakat.
Basic Skills
Fenomena terjadinya degradasi pendidikan bukanlah hanya
di negeri kita atau negara sedang berkembang yang lain. Dua guru besar ekonomi,
Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah
melakukan studi yang mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di
Industri Motorola. Hasil kajian keduanya sebagaimana yang dimuat dalam bukunya 'Teaching
The New Basic Skills' (1996), antara lain
membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik
telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk
anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun,
tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah sebagaimana dikemukakan di atas.
Akibat degradasi ijazah ini mengakibatkan penurunan gaji yang diperoleh lulusan
SMA pada masa kini dibandingkan dengan lulusan SMA pada masa lampau. Kalau pada
tahun 1979 lulusan SMA dengan memiliki pengalaman kerja sekitar 10 tahun
memperoleh gaji 27.500 dollar, maka pada tahun
1993 lulusan SMA dengan pengalaman kerja 10 tahun hanya memperoleh gaji
20.000 dollar. Inti dari studi ini menekankan betapapun prestasi siswa
ditingkatkan tetap saja akan muncul problem, sebab persoalan utama adalah dunia
ekonomi mengalami kemajuan yang pesat, sedangkan di fihak lain dunia pendidikan
bergerak maju sangat lambat.
Sejalan
dengan itu, bagi kedua ekonom tersebut, kebijakan yang diperlukan adalah
bagaimana mem- percepat kemajuan dunia pendidikan dalam arti yang utuh dan
hakiki, lewat reformasi pendidikan yang mendasar sehingga memungkinkaan
pendidikan berkembang dengan cepat, tidak sekedar meningkatkan kemampuan daya
serap materi pelajaran sebagaimana ditunjukkan dengan skor hasil tes. Dengan
mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga
kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang diperlukan di
dunia pendidikan adalah menetapkan skill
dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill
dasar tersebut meliputi:
1.
The hard skids, yang mencakup dasar-dasar
matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan
lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMU.
2.
The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja
sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik
dengan lisan maupun tulis.
3.
Kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana,
seperti seperti word processor.
Pendidikan Holistik
Pada
hakekatnya pendidikan kita bertujuan untuk menghasilkan manusia yang utuh.
Namun, kenyataan dalam praktek dewasa ini tak terhindarkan lagi bahwa tujuan
pendidikan hanya menekankan aspek kognitif dengan ditunjukkan oleh sistem
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional yang menghasilkan NEM. Sehubungan dengan
itu, basic skills yang diajukan oleh kedua pakar ekonomi di atas justru
telah mencakup ketiga aspek: kognitif (the hard skills dan
kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft skills).
Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat
dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang utuh?
Dunia pendidikan sudah sangat terbiasa
dengan pembagian sesuatu ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, seperti
bidang studi dipecah-pecah dalam pokok bahasan, dan sub-pokok bahasan.
Administrasi juga dipisah-pisah menjadi bagian-bagian yang kecil-kecil. Pemecahan
menjadi berbagai pecahan kecil-kecil ini berdasarkan asumsi bahwa kalau
serpihan-serpihan digabungkan akan menjadi satu keutuhan kembali. Namun asumsi
ini jauh dari realitas yang berlangsung. Siswa yang memiliki NEM tinggi untuk
suatu mata pelajaran tidak berarti siswa telah menguasai pelajaran tersebut
secara utuh. Sebab, memang secara substansi gabungan-gabungan dari
serpihan-serpihan tidak harus diartikan mesti menjadi satu keutuhan. Demikian
pula, asumsi bahwa Guru bimbingan dan konseling ditambah guru agama serta guru
PPKN bertugas untuk mengembangkan sosial dan emosi siswa, sedangkan, guru-guru
mata pelajaran yang lain, seperti matematika, fisika, ekonomi, bertugas untuk
mengembangkan intelektual siswa, sulit untuk terus dipertahankan.
Perkembangan teori
baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and
Reasoning in College: Gender-Related Patterns
in Students' Intellectual Development, 1995)
menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional
harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini
peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang
berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar
sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (Sudah
diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia, 1995) juga menekankan betapa
proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang
motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi
rendah.
Aspek Mikro Dalam Pendidikan
Dalam
kaitan pengembangan diri pribadi yang holistik ini sudah barang tentu proses
belajar mengajar yang didominasi oleh ceramah dengan guru sebagai
sumber tunggal dan siswa sebagai pendengar yang baik mendapatkan kritikan yang
keras. Sebagai alternatif muncullah berbagai ide seperti Teori Pendidikan
Pembebasan oleh Fraire, teori Constructivist oleh Brooks dan Brooks, Cultural
Perspective oleh Rhoads dan Black, Collaborative Learning
oleh Bruffee. Teori-teori pembelajaran baru ini dimaksudkan untuk mengubah
proses belajar mengajar yang bersifat monolitik dan steril dari
peristiwa-peristiwa yang berlangsung di luar sekolah, sebagaimana yang
dipraktekan di dunia sekolah dewasa ini, dengan melibatkan sosial dan emosi
dalam proses pembelajaran. Dengan mengubah otoritas pembelajaran dari tangan
guru dan lebih menekankan unsur pengalaman pribadi siswa dalam proses
pembelajaran, disertai dengan mengkaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan
apa yang terjadi di masyarakat sekitarnya, diharapkan pendidikan akan lebih
dapat mengembangkan diri siswa secara utuh.
Reformasi pendidikan perlu
mempertimbangkan perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori
Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat
merupakan sumber kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana
laba-laba hidup. Ia menyatakan bahwa sistem pendidikan harus ditransformasikan
lewat praksis, di mana refleksi dan aksi akan secara bergantian mengubah
tatanan yang ada. Teori Pembelajaran Constructivist didasarkan pada
prinsip bahwa guru harus menyediakan lingkungan belajar yang memungkin kan
siswa mencari makna, menghargai ketidakpastian, dan bertanggung jawab dalam
proses "pencarian". Teori ini mengakui bahwa penekanan pada kinerja
dan memberikan jawaban yang benar pada soal model pilihan ganda menghasilkkan
pemahaman yang minim pada diri siswa, sedangkan fokus proses pembelajaran
adalah menimbulkan pada diri siswa pemahaman yang mendalam dan kemampuan
mempergunakan konsep dan pengetahuan yang diperoleh sampai di luar ruang-ruang
kelas. Teori Constructivist
membantu siswa untuk mampu bertanggung jawab atas proses pembelajaran yang
dilakukan oleh diri seseorang yang mandiri, mengembangkan pemahaman dan konsep
secara terintegrasi, dan mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
penting. Teori Pembelajaran Kultural menekankan kekuatan kultur dan subkultur
masyarakat. Teori ini memiliki prinsip bahwa lewat sistem kultural yang ada dewasa
ini kondisi pendidikan dapat dianalisis dan diubah untuk dikembangkan menjadi
proses pembelajaran yang efektif. Untuk itu pendidikan harus meninjau ulang
asumsi dan nilai-nilai mereka sendiri dalam praktek pendidikan. Teori
pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang
digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan
emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan poda ide bahwa
pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas
sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya proses di
mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif.
Berdasarkan
uraian di atas, maka lembaga pendidikan harus bergeser untuk mengembangkan
kultur pembelajaran yang holistik termasuk mengem- bangkan visi pendidikan yang
jelas, konsisten, disertai dengan kepemimpinan yang dapat memberikan arah,
memajukan keterlibatan siswa dalam proses pembelaja- ran, mengembangkan
masyarakat pembelajaran, mendorong munculnya iklim belajar di manapun juga, dan
secara sadar mengembangkan proses sosialisasi profesional baik di kalangan guru
ataupun siswa. Kepemimpinan yang konsisten dan mampu memberikan arah diperlukan
sebab budaya masyarakat memang menghendaki nya. Prinsip kepemimpinan tersebut
memiliki implikasi bahwa kepemimpinan lembaga harus dilihat sebagai suatu
keniscayaan, bahwa transformasi pendidikan mencakup seluruh hirarkis
kelembagaan. Dengan demikian, transformasi pendidikan diarahkan untuk
mengembang kan sejumlah peran kepemimpinan di sekolah, meningkatkan
keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, menciptakan lingkungan yang
mendorong siswa untuk ambil peran, mendorong dan menghargai inisiatif siswa,
dan memberikan insentif bagi keterlibatan siswa. Tujuan akhir dari transformasi
pendidikan adalah menghasilkan siswa yang utuh: Kematangan intelektual, sosial,
dan emosi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)