Kultur Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok
yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yakni: proses belajar mengajar,
kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk
peningkatan mutu sekolah secara konvensional senantiasa menekankan pada aspek
pertama, yakni meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh
aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan sama sekali tidak pernah
menyentuh aspek kultur sekolah. Sudah barang tentu pilihan tersebut tidak terlalu
salah, karena aspek itulah yang paling dekat dengan prestasi siswa. Namun,
sejauh ini bukti-bukti telah menunjukkan, sebagaimana dikemukakan oleh Hanushek
di atas, bahwa sasaran peningkatan kualitas pada aspek PBM saja tidak cukup.
Dengan kata lain perlu dikaji untuk melakukan pendekatan in-konvensional yakni,
meningkatkan mutu dengan sasaran mengembangkan kultur sekolah.
Kultur
merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat,
yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam
ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini
juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara
hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk
memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara
alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya. Sekolah
merupakan lembaga utama yang yang didesain untuk memperlancar proses transmisi
kultural antar generasi tersebut.
Dalam
dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa (bukan kultur sekolah) yang diduga
sebagai faktor yang paling menentukan kualitas sekolah. Tetapi berbagai
penelitian menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi pendidikan
tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir, hasil TIMSS (The Third international
Math and Science Study) menunjukkan bahwa siswa dari
Jepang, dan Belgia sama-sama menempati pada rangking atas untuk mata pelajaran
matematik, padahal kultur negara-negara tersebut berbeda. Oleh karena itu, para
peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah, bukannya kultur
masyarakat secara umum, sebagai salah satu faktor penentu kualitas sekolah.
Tesis ini sesuai dengan temuan-temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan
yang menekankan bahwa "faktor penentu kualitas pendidikan tidak hanya
dalam ujud fisik, seperti keberadaan guru yang berkualitas, kelengkapan
peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam ujud non-fisik,
yakni berupa kultur sekolah".
Konsep
kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri,
yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif. Salah satu
ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog
Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman
terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit.
Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz tersebut di atas, kultur
sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap,
ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang
sekolah. Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala
sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah.
Pengaruh kultur sekolah atas prestasi
siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang
"sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan a) prestasi dan motivasi
siswa untuk berprestasi, b) sikap dan motivsi kerja guru, dan, c) produktivitas dan kepuasan kerja
guru. Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat sebagai bagian
suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu yang ada pada suatu kultur
sekolah hanya dapat dilihat dan dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain,
seperti, a) rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap
prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan sekolah, e)
ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua siswa, g) kepemimpinan
kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab di antara guru. Dengan kata lain, dampak
kultur sekolah terhadap prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah
bersifat langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti
semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.
Di
Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang menyangkut kultur sekolah dalam
kaitannya dengan prestasi siswa. Tetapi mengingat bahwa sekolah sebagai suatu
sistem di manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di Amerika
Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling tidak dapat dijadikan
jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan kita.
Faktor Pembentuk Kultur Sekolah
Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang
selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan yang
dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka
dengan aspek-aspek dan komponen yang ada di sekolah, seperti kepala sekolah,
guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri. Aturan sekolah yang ketat
berlebihan dan ritual sekolah yang membosankan tidak jarang menimbulkan konflik
baik antar siswa maupun antara sekolah dan siswa. Sebab aturan dan ritual
sekolah tersebut tidak selamanya dapat diterima oleh siswa. Aturan dan ritual
yang oleh siswa diyakini tidak mendatangkan kebaikan bagi mereka, tetapi tetap
dipaksakan akan menjadikan sekolah tidak memberikan tempat bagi siswa untuk
menjadi dirinya.
Di Amerika Serikat pernah dilakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kultur sekolah ini. Ann
Bradley dalam 'Hardly Working' mengemukakan hasil penelitian
tersebut. Penelitian yang mencakup 1.000 siswa di New York City menunjukkan
bahwa para siswa tidak bekerja keras dan mereka menyatakan kalau dia mau dia
akan dapat mencapai nilai yang lebih baik; mereka tidak menghendaki ikut tes
karena hanya akan membikin mereka harus belajar lebih banyak. Penelitian ini
juga menunjukkan bahwa siswa tidak khawatir dengan nilai rapor yang jelek, dan
hanya beberapa siswa yang selalu mengerjakan PR. Sekitar 60% menyatakan mereka
malas belajar dikarenakan guru yang tidak menarik dan tidak antusias dalam
mengajar, serta tidak menguasai materi. Di samping itu sebagian besar responden
menyatakan bahwa sekolah tidak disiplin dalam melaksanakan proses belajar
mengajar, sekitar 80% mau belajar keras kalau semua proses belajar di sekolah
berjalan secara tepat sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Sebagian siswa
yang lain mengeluh karena guru sering melecehkan mereka dan tidak memperlakukan
mereka sebagai anak yang dewasa melainkan memperlakukan mereka sebagai anak
kecil. Oleh karena itu sebagai balasan mereka juga tidak menghargai guru.
Temuan yang penting lagi adalah ternyata para siswa yakin dengan belajar
sebagaimana sekarang ini saja mereka akan lulus mendapatkan diploma dan diploma
merupakan sesuatu yang penting, tetapi tidak diperlakukan sebagai simbol ilmu
yang telah dikuasai.
Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah harus memahami kultur sekolah yang ada
sekarang ini, dan menyadari bahwa hal itu tidak lepas dari struktur dan pola
kepemimpinannya. Perubahan kultur yang lebih "sehat" harus dimulai dari
kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah harus mengembangkan kepemimpinan berdasarkan dialog, saling
perhatian dan pengertian satu dengan yang lain. Biarlah guru, staf administrasi
bahkan siswa menyampaikan pandangannya tentang kultur sekolah yang ada dewasa
ini, mana segi positif dan mana negatif, khususnya berkaitan dengan
kepemimpinan kepala sekoloh, struktur organisasi, nilai-nilai dan norma-norma,
kepuasan terhadap kelas, dan produktivitas sekolah. Pandangan ini sangat
penting artinya bagi upaya untuk merubah kultur sekolah.
Kultur
sekolah ini berkaitan erat dengan visi yang dimiliki oleh kepala sekolah
tentang masa depan sekolah. Kepala sekolah yang memiliki visi untuk menghadapi
tantangan sekolah di masa depan akan lebih sukses dalam membangun kultur
sekolah. Untuk membangun visi sekolah ini, perlu kolaborasi antara kepala
sekolah, guru, orang tua, staf administrasi dan tenaga profesional. Kultur
sekolah akan baik apabila: a) kepala dapat berperan sebagai model, b) mampu
membangun tim kerjasama, c) belajar dari guru, staf, dan siswa, dan, d) harus
memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan. Kepala sekolah dan guru
harus mampu memahami lingkungan sekolah yang spesifik tersebut. Karena, akan
memberikan perspektif dan kerangka dasar untuk melihat, memahami dan memecahkan
berbagai problem yang terjadi di sekolah. Dengan dapat memahami permasalahan
yang kompleks sebagai suatu kesatuan secara mendalam, kepala sekolah dan guru
akan memiliki nilai-nilai dan sikap yang amat diperlukan dalam menjaga dan
memberikan lingkungan yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)