Kesenjangan
sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di
negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global
cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga
studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study
sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa
ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok
miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di
dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup
sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan
mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka
dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap
1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang
berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman
keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi
dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan
ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik
pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara
jernih.
Ketimpangan Dalam Pendidikan
Kesenjangan
sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di
negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global
cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga
studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study
sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 24 Januari 1997, mengemukakan bahwa
ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok
miskin yang luar biasa. Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di
dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup
sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan
mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka
dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap
1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang
berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman
keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi
dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan
ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik
pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara
jernih.
Merupakan sesuatu yang jamak, bahwa
bangsa yang menghadapi problem akan menengok kepada pendidikan. Peran apakah
yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memecahkan persoalan
kesenjangan sosial tersebut? Namun, ternyata pendidikan sendiri tidak bebas
dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall
Collins dalam The Credentiai Society: An Historical
Sosiology of Education and Stratafication,
mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari
proses stratafikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia tesis ini didukung dengan
adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan keluarga mampu
dan miskin. Anak dari kalangan berada memiliki kesempatan yang lebih luas untuk
memasuki sekolah yang baik semenjak dari TK sampai jurusan-jurusan pilihan di
universitas pilihan. Sebaliknya, sebagian besar anak dari golongan masyarakat
yang tidak mampu harus menerima kenyataan bahwa mereka harus rela memasuki
sekolah yang tidak berkualitas sepanjang masa sekolahnya.
Tidak
jarang sekolah yang jelek yang berada di kota-kota, lebih khusus lagi di
kota-kota besar cenderung akrab dengan kemiskinan dan keter- belakangan. Di
samping itu lingkungan sekolah yang tidak berkualitas cenderung memunculkan
kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin yang berada di sekolah-sekolah yang
"tidak bermutu" sadar bahwa mereka tidak akan mampu bersaing dengan
anak-anak dari sekolah yang "bermutu" yang kebanyakan datang dari
keluarga mampu. Mereka, sejak dini sudah dipaksa memendam dendam yang tidak
pernah terekspresikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan anak-anak yang lahir
dari kelompok miskin cenderung menjadi penganggur, lingkungan fisik dan psikis
tergencet serta dibayangi dengan tindak kejahatan. Hal ini acapkali menjadikan
anak memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah, agresif dan frustasi, dan
gampang terkena provokasi.
Latar belakang keluarga yang
didominasi oleh kemiskinan ini menjadikan mereka yang semula menganggap sekolah
sebagai surga, ternata mengalami kenyataan yang berbeda. Di sekolah mereka
sering menemui kenyataan betapa sulit untuk menjadikan guru sebagai panutan dan
sekaligus pengayom. Interaksi di sekolah justru semakin menjadikan mereka
frustrasi. Sekolah tidak memberikan kesempatan mereka untuk mengekspresikan
diri mereka sendiri. Keadaan bertambah buruk manakala banyak guru dapat
dikatakan tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang bermakna dengan para siswa
dengan baik. Hal ini dikarenakan beban kurikulum yang terlalu sarat di samping
kondisi sosial ekonomi menyebabkan guru tidak dapat berkonsentrasi dan
melakukan refleksi dalam melaksanakan pengabdian profesionalnya. Tanpa ada kontak
yang bermakna dan berkesinambungan antara guru dan siswa, guru tidak akan mampu
mengembangkan wawasan siswa mengenai perilaku masa kini demi keberhasilan di
masa depan.
Dimensi Ketimpangan
Dimensi
ketimpangan sosial di sekolah sesungguhnya tidak serumit yang terjadi di
masyarakat luas. Mark Griffin dan Margaret Batten, peneliti pendidikan
berkebangsaan Australia, dalam bukunya 'Equity in Schools:
An independent Perspective', mengemukakan dua aspek penting dalam
mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama ujud ketimpangan, yang dapat
terjadi dalam ujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang berkualitas, atau ketimpangan dalam ujud output atau hasil
pendidikan. Kedua, ukuran ketimpangan, yang dapat diukur pada level individu
atau ketimpangan pada level kelompok, seperti kelompok siswa kaya dan miskin,
kelompok siswa berasal dari desa dan dari kota, kelompok siswa laki-laki dan
siswa pe rempuan. Apa yang dikernukakan oleh kedua peneliti pendidikan tersebut
amat penting untuk merencanakan intervensi lewat kebijakan pendidikan guna
mengatasi problem ketimpangan pendidikan.
Aspek ketimpangan dalam ujud output
pendidikan dipusatkan pada kualitas lulusan baik dalam arti nilai akhir ujian
seperti NEM ataupun dalam arti kualitas kemampuan lulusan. Dimensi tersebut
dapat dianalisis pada level mikro individual atau dalam level makro atau
kelompok. Intern suatu sekolah dapat diketemukan perbedaan prestasi antar siswa
yang erat berkaitan dengan latar belakang status sosial masing-masing individu.
Tetapi di samping itu, perbedaan diketemukan dalam perbandingn antar kelompok,
baik intern satu sekolah maupun antar sekolah. Sekali lagi perbedaan tersebut
erat berkaitan dengan status sosial ekonomi kelompok yang bersangkutan.
James
Coleman dalam 'Equality of educational opportunity'
merupakan sosiolog yang telah membukti kan adanya realitas ketimpangan output
pendidikan dalam kaitan dengan ketimpangan input pada level kelompok di
Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang
dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas
pendidikan, rasio guru-siswa, kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil
dalam menimbulkan ketimpangan output. Sedangkan Frederick Jenck dalam
laporan penelitian Inequity in Education membuktikan
ketimpangan output pendidikan dengan menggunakan pada level individual.
Namun, kajian ketimpangan pendidikan yang didasarkan pada output pendidikan
dikritik keras oleh John Keevess, lewat artikelnya Equitable Opportunities
in Australian education, sebab pendekatan output
menjadikan ketimpangan pendidikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipecahkan
dan upaya mengatasi ketimpangan lebih tepat disebut sebagai suatu ilusi.
Sebaliknya, pendekatan
input lebih praktis dan lebih operasional. Pendekatan ini melihat adanya
ketimpangan pendidikan dalam ujud bahwa siswa mendapatkan kesempatan untuk
menikmati fasilitas pendidikan yang tidak sama. Perbedaan ini bisa berupa
kualitas guru, prasarana dan fasilitas pendidikan, dan sebagainya. Ketimpangan pendidikan dalam kesempatan untuk
mendapatkan fasilitas pendidikan dapat dianalisis pada level individu ataupun
kelompok. Ketimpangan input dan proses ini lebih mudah diatasi dengan
menyediakan fasilitas yang diperlukan. Perbedaan antar individu dalam suatu
sekolah dapat diatasi, misalnya, dengan penyediaan fasilitas buku sehingga
setiap siswa bisa menggunakan satu buku. Tetapi, pengalaman di banyak negara
sedang berkembang termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa kualitas input
tidak selamanya akan meningkatkan output pendidikan, sebagaimana
disimpulkan oleh Coleman di atas. Sebab, dibalik kesamaan fisik yang diperoleh
oleh masing-masing individu muncul pertanyaan apakah siswa dengan latar
belakang sosial ekonomi tinggi mendapatkan pelayanan yang sama dengan siswa
yang berasal dari keluarga miskin? Apakah guru benar-benar dapat berperilaku
adil terhadap semua siswa tanpa melihat latar belakang mereka?
Dengan
mendasarkan pada dua dimensi di atas, ketimpangan sekolah dapat dikelompokkan dalam
empat varian: a) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran individual,
b) ketimpangan dalam ujud input dalam ukuran kelompok, c) ketimpangan
dalam ujud output dalam ukuran individual, dan, d) ketimpangan dalam
ujud output dalam ukuran kelompok. Pemecahan permasalahan ketimpangan
masing-masing kelompok memerlukan kebijakan intervensi yang berbeda.
Cooperative Learning
Proses sekolah
dewasa ini senantiasa menekankan pengembangan siswa sebagai individu, sekolah
tidak pernah mengembangkan siswa secara bersama sebagai suatu kelompok. Mulai
dari tugas-tugas harian, tanya jawab dan diskusi di kelas sampai evaluasi akhir
hasil studi, semua itu merupakan tugas invidual. Dalam persaingan untuk
mencapai prestasi di antara siswa ini sekolah sama sekali tidak menanamkan
semangat kerjasama dan solidaritas sosial. Layaknya pada persaingan bebas di
dunia ekonomi siapa yang kuat akan berkembang, demikian pula di dunia
pendidikan. Panekanan pada pengembangan siswa secara individual menyebabkan
kesenjangan hasil pendidikan. Ditambah lagi, setiap pembaharuan pendidikan pada
umumnya senantiasa menguntungkan siswa yang relatif mampu dan berdomisili di
kota-kota, sehingga kesenjangan pendidikan semakin tajam. Sebagai contoh,
pengenalan matematika modern menyebabkan kesenjangan prestasi siswa baik pada
level individual maupun level kelompok semakin menganga. Sejalan dengan
perlunya dikembangkan solidaritas sosial
di kalangan siswa,
pendekatan individu dalam
dunia pendidikan perlu diimbangi dengan
pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama, dan kemampuan bernegosiasi,
berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Salah satu pendekatan
dalam proses belajar mengajar yang berbasis kelompok adalah Cooperative Learning.
Kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran merupakan kerjasama di antara para
siswa untuk mencapai tujuan belajar bersama. Di samping tujuan bersama yang
akan dicapai, kebersamaan dan kerjasama dalam pembelajaran ini juga diarahkan
untuk mengembangkan kemampuan kerjasama di antara para siswa. Dengan pendekatan
ini, guru tidak selalu memberikan tugas-tugas secara individual, melainkan
secara kelompok. Bahkan penentuan hasil evaluasi akhirpun menggunakan prinsip
kelompok. Artinya, hasil individu siswa tidak hanya didasarkan kemampuan
masing-masing, tetapi juga dilihat berdasarkan hasil prestasi kelompok. Dengan
demikian, siswa yang pandai akan menjadi tutor membantu siswa yang kurang
pandai demi prestasi kelompok sebagai satu kesatuan. Setiap siswa tidak hanya
bertanggung jawab atas kemajuan dan keberhasilan dirinya, tetapi juga
bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan kelompoknya.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative
teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian
tentang "School Practices That improve Race Relations"
yang dimuat pada American Educational Research Journal
menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Cooperative
learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih
tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan
sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling
kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih
terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan
guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mem
pengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan
secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan,
sikap dan perilaku sosial siswa. Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan
proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning,
berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan
khususnya dalam ujud output pada level individual. Di samping itu,
berkembangnya kesetia kawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada
gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level
individual. Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang
di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki
kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.
Intervensi untuk mengurangi
ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning
merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek
yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Dengan Cooperative
Learning ini pula pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses
pendidikan pada rel yang sebenarnya, yakni menghasilkan manusia yang ber '' otak " dan ber '' hati ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)