Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang
berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam
kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya
untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar
sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara
ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar
sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya
relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksana kan
secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang
berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam
kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya
untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar
sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara
ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelaksanaan di luar
sekolah, meski memiliki rencana dan program yang jelas tetapi pelaksanaannya
relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksana kan
secara informal tanpa tujuan yang dirumuskan secara baku dan Tertulis.
Dengan
mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut di atas, maka sesungguhnya
pendidikan merupakan pembudayaan atau "enculturation", suatu
proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Konsekuensi dari pemyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan
budaya masyarakat akan menimbulkan penyimpangan yang dapat muncul dalam
berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan
keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya
teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat
yang bersangkutan.
Pendidikan Zaman Dulu Sampai Sekarang
Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek
pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam,
pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan
Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai
praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda.
Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah
praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan
zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa
pembangu nan sampai sekarang ini. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda
ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya
melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa
mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat
sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial
ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan.
Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan
demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk
dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa
menjalankan tugas - tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan
alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan
muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan
masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan
untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu
dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting
dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan
Indonesia.
Pada
zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan
Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan
Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang
asing degan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut
diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah
Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang
berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah
untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung
jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek
pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari
pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial,
politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik
terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).
Praktek pendidikan zaman Indonesia
merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem
pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 pengaruh sistem
pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan
Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses
pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat
dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi,
praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan
mempersiap kan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain
praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak
ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.
Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada
pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa.
Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini
cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat
sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi
untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada
rigiditas. Birokrasi pusat cenderung
menekankan proses pendidikan secara klasikal dan bersifat mekanistis. Dengan
demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebagaimana sebuah pabrik.
Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid
sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan
perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di
sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya.
Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler
dalam bentuk kliping koran.
Lebih
lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas
dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya,
berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan
"juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di
masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan
komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan
resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung
emosi. Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan
organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan
sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat
sentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada
kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan
suatu tindakan mendelegasikan wewenang kepada satuan kerja yang langsung
berhubungan dengan peserta didik. Permasalahannya yang lebih mendalam yang
perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentrali sasi yang
dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya
untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijak sanaan desentralisasi
hanya dilihat sebagai cara untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya
untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan?"
Kalau
desentralisasi hanya sekedar mengurangi beban tanggung jawab di puncak
kekuasaan dengan memberikan sebagian tugas-tugas administrasi kepada aparat
yang lebih rendah maka desentralisasi tidak akan banyak artinya sebagai sarana
peningkatan kualitas pendidikan. Dewasa ini ketidak-mampuan sekolah
meningkatkan kualitas pendidikan mencerminkan ketidak-mampuan struktur dan
sistem persekolahan. Kalau tidak ada perubahan yang mendasar pada sistem
pendidikan, maka segala upaya peningkatan kualitas akan sia-sia. Oleh karena
itu, kebijaksanaan yang diperlukan di dunia pendidikan kita sekarang ini adalah
desentralisasi yang mendasar.
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan
kebijaksanaan desentralisasi. Pertama,sistem persekolahan harus lebih tanggap
terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim
pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang
berkiblat ke Amerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung
mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik,
individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis
dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan
yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses
"Amerikanisasi" ini. Adapula
satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang
terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan
semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di
kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa
segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang
waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa
depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai
contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki
rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang
pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun
lagi". Mentalitas "jalan
pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan
sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya
dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic
Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan
kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera
diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan
segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan
instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan,
politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan.
Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak
"tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang
utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan
menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya.
Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses
sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting. Dua mental
tersebut bisa menjadi faktor yang akan merusak kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu ada upaya untuk mengembalikan kesadaran di kalangan
masyarakat khususnya generasi muda; pentingnya pencapaian tujuan jangka
panjang, memahami makna proses yang harus, dilalui dan menyadari akan
pentingnya nilai-nilai yang harus muncul dari diri sendiri.
Fenomena Pendidikan Dan Kebudayaan
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya
besarnya jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap
materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama
di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan
praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek
pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya
Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang
berwajah Indonesia. Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu
budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat
dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat
dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral
Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek
pendidikan untuk mengembang- kan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang
miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu
jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak
mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan
penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima
bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat
kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada
ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro diwujudkan
dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong
kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya
kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan
orientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan ?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian
penelitian yang bersifat multidisipliner.
Penelitian Pendidikan Yang Diperlukan
Tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia mandeg dan pendidikan kita
yang lebih berwajah ke-Amerika-an hanya merupakan salah satu akibat kemandegan
ilmu pendidikan. Kalau ditelusuri lebih jauh, kemandegan ilmu pendidikan
disebabkan terutama karena kualitas penelitian pendidikan yang rendah. Dengan
demikian upaya mencari pendidikan yang berwajah ke-indonesia-an harus disertai
dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Agenda penelitian untuk menemukan pendidikan yang
berwajah ke-indonesia-an bisa dimulai dari penelitian untuk menemukan
nilai-nilai dan orientasi budaya daerah (setempat) yang memiliki nilai positif
bagi praktek pendidikan. Misalnya, nilai "Ratu adil di dukung, ratu zalim
disanggah", adalah nilai yang mendukung keadilan sosial.
Kedua,
penelitian yang membandingkan nilai-nilai yang berkaitan dengan proses
pendidikan di rumah (keluarga) dan pendidikan di sekolah. Misalnya, nilai
penekanan orang tua untuk memerintah langsung anak atau mendikte anak di satu
pihak dan tekanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sudah barang tentu
kedua nilai tersebut bertentangan. Bagaimanakah akibatnya terhadap perkembangan
anak didik?
Ketiga,
penelitian yang menjawab makna konsep yang tercantum pada falsafah dan dasar
negara. Misalnya, dalam alenia pembukaan UUD 1945 tercantum konsep "bangsa
yang cerdas". Apa maknanya bangsa yang cerdas? Apakah makna kecerdasan
sama antara masyarakat agraris dan masyarakat industri atau bahkan pada
masyarakat informatif. Artinya, kecerdasan apakah yang harus dimiliki untuk
menuju masyarakaat industri atau masyarakat yang dilanda globalisasi?
Keempat,
penelitian yang mencari titik temu antara pendidikan sistem persekolahan dan
pendidikan luar sekolah. Sebab, pada masyarakat industri hubungan antara kedua
sistem pendidikan tersebut memiliki peran yang penting.
Kelima, penelitian
yang memusatkan pada kebijak-sanaan pendidikan. Misalnya, sejauh mana terdapat
keterkaitan antara kebijaksanaan rayonisasi? Siapakah yang menikmati anggaran
pemerintah di bidang pendidikan? Bagaimanakah penduduk miskin dapat menikmati
pendidikan?
Keenam,
penelitian yang mengkaji kecenderungan -kecenderungan yang akan terjadi di masa
mendatang. Bagaimanakah dampak atas adanya kecenderungan tersebut bagi dunia
pendidikan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya? Bagaimanakah caranya
agar kita bisa menguasai dan merubah kecenderungan tersebut?
Ketujuh,
penelitian yang mengkaji peran dan interaksi berbagai pusat pendidikan.
Misalnya, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara sekolah dan TPI,
sekolah dengan surat kabar dan radio? Akhirnya, perlu dipikirkan adanya
penerbitan dari Kelompok Kajian Pendidikan ke-indonesia-an sebagai media
penyebaran pertukaran informasi dengan masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
For yout correction, write your comment in here. Thank you.
(Tulislah komentar anda di sini untuk perbaikan. Terima kasih)